Dua Stik Mungkin Cukup

Saat sedang duduk menyenangkan mata dengan video tari kontemporer yang kedua dari Youtube, Jason – murid TK, anak rekan sekerja – datang berdiri tepat di sebelahku. Ia sedang makan sekeping cracker. Matanya mencari tahu apa kesenanganku beberapa menit sebelum kedatangannya. Aku memakaikan headsetku padanya. Hanya sejenak ia mendengar dan melihat gambar bergerak itu, kemudian ia pergi. Aku melanjutkan kesenanganku.

Jason kembali berdiri tepat di sebelah tempat aku duduk dalam hitungan tidak lebih dari sepuluh detik. Dua keping cracker ditunjukkannya kepadaku. Ah, aku sedang tidak ingin makan cracker. Aku mengisyaratkan supaya dia memakan semuanya. Dia menangkupkan cracker itu dengan serius, membuka mulutnya lebar-lebar, menggigitnya sekali dengan mata tertuju pada mataku, lalu membuka tangkupan itu pas di depan wajahku, kemudian ia pergi. Aku melanjutkan kesenanganku.

Tidak kalah cepat dengan sebelumnya, ia kembali dengan membawa lebih banyak cracker. Senyum tak lupa mendampinginya. Baik, aku paham. Sesungguhnya bukan cracker yang ditawarkannya.

 

Mungkin setelah ini aku bisa pergi membeli sebungkus biskuit stik rasa green tea. Menyimpannya dalam tas. Ketika diaturNya duduk di sebelahmu suatu hari, aku bisa mengeluarkan sebungkus biskuit stik rasa green tea itu dari dalam tas. Membuka bagian atas kemasannya. Mengambil dua stik biskuit rasa green tea itu dan menyodorkan satu padamu dengan tersenyum simpul.

 

-Z33-

05.09.15 – suatu siang

 

2016214064247

Pendet

Berawal dari keinginan saya belajar tari tradisional di tahun 2013, maka saya membuat target untuk mengambil les tari tradisional di awal tahun 2014. Saya googling tempat les tari tradisional dan berakhir dengan bertanya pada pengajar les hiphop saya dulu. Saya mendapatkan kontak pengajar tradisional – si mbak itu – darinya yang kemudian saya coba hubungi.
Saya menelepon si mbak, bertanya seputar sanggar tradisional yang dimiliki dan bilang mau datang kesana untuk mendaftar. Diiyakannya. Saat saya konfirmasi untuk kedatangan saya kesana, tidak ada respon lagi darinya. Saya telepon ngga dibalas, sms juga bernasib sama. Saya jadi kesal. Akhirnya, target saya tidak tercapai di tahun 2014. Yah, sepertinya saya kurang gigih juga dalam berjuang mencari tempat les.

Tahun ini, saya belajar tari tradisional (akhirnya!!!). Tari Pendet, sebuah tari tradisional dari Bali. Mudah bagi saya? Tentu saja… tidak! Saya sama sekali tidak pernah belajar tari tradisional sebelumnya. Saya tidak terbiasa dengan musiknya, postur badannya, cara mengajar pengajarnya, dan semuanya… tidak ada yang membuat saya terbiasa dan nyaman.
Saat latihan-latihan, beberapa kali saya hampir menangis. Saya ngga bisa hafal tariannya dengan baik. Salah terus. Saya kesal pada diri saya sendiri karena ngga hafal-hafal. Bagian-bagian musiknya menurut saya sama, susah dihafal, ngga ada liriknya. Beberapa gerakannya juga begitu, kanan dan kiri sama. Ada gerakan pokok di setiap set. Harus menghafal istilah-istilah gerakan dalam bahasa daerah. Rasanya ada beban yang berat ditimpakan di dada (read: nyesek) saat melihat ekspresi salah satu pengajarnya agak kesal. Aaagh…! Lebih tertekan lagi saat bertanya pada pengajarnya dan dijawab biasanya materi ini diselesaikan dalam waktu 2 bulan. Saat ini, saya sudah masuk bulan ketiga!

Setiap kali hampir menangis itu, ingin rasanya kelas hari itu disudahi saja dan segera pulang (tapi kelas selanjutnya pasti tetap datang). Tapi di sisi lain, diri saya memaksa untuk bagaimanapun caranya harus bisa menyelesaikan tarian ini. Pantang berhenti, malu sama diri sendiri.

Secara subyektif, tari tradisional kurang diminati di jaman sekarang ini. Lebih banyak yang berminat pada hiphop. Saya memilih untuk belajar tari tradisional salah satunya diawali dengan pikiran “Masak orang Surabaya ngga bisa nari Remo?”.

Yang saya pelajari saat belajar tari tradisional ini banyak sekali, diantaranya: kesabaran, pengendalian diri, melatih kekuatan kaki, semangat untuk terus belajar hal yang baru -yang kadang dianggap susah bahkan tidak disukai-, dll.

Nonton tari pendet itu asyik banget. Feminin, lembut tapi ada ketegasan disana, dan gerakannya mengalir tanpa henti. Proses latihannya yang… Maaak! Bagaimana membuat otak, kepala, mata, tangan, jari, bahu, dada, pinggul, kaki, ekspresi, power dan perasaan bisa bekerjasama dalam waktu sekitar 8 – 9 menit.

Yang mencintai budaya Indonesia
-Z33-
19.05.15 – 10:59 pm

-Z33-
Posted from WordPress for Android

Nama-nama Itu

Dini hari tadi.
Aku membuka buku agendaku. Kumulai dari bagian depan. Banyak sticky notes kutempel disana. Aku membaca selembar sticky notes di bulan Februari. Isinya pokok doa. Nama seseorang tertulis disana. Di baris paling atas. Aku tersadar. Aku tidak pernah mendoakannya lagi beberapa bulan ini. Merasa bersalah. Haruskah merasa bersalah? Entahlah, itu yang kurasakan. Dia tidak tahu aku mendoakannya. Dia juga tidak tahu juga kalau aku tidak mendoakannya. Tuhan yang tahu. Aku merasa egois, sedikit.

Satu nama lain terlintas di pikiranku. Ya, aku harus menghubunginya. Dia pasti tahu.Aku membuka sebuah aplikasi media sosial. Mencari nama yang terlintas tadi. Mengiriminya pesan. 2 kalimat. Sapaan untuk nama yang terlintas dan pertanyaan tentang kabar dia yang namanya tertulis. Waktu menunjukkan pukul 00:44.

Pagi hari tadi.
Pesanku dibalas. Aku jadi tahu kabar nama yang kutulis. Aku dan nama yang terlintas saling bertukar pesan. Sebuah harapan kuangkat. Semoga aku bisa bertemu dengan nama yang kutulis. Membayangkan kira-kira bagaimana saat aku bertemunya. Nanti.

Menjelang siang tadi.
Aku kembali membuka buku agendaku. Nama yang tertulis itu ada di lembaran sticky notes lain. Di bulan-bulan yang lain. Kembali tersadar. Ada sebuah kebiasaan yang hilang. Aku menyesalinya.

Di lembaran sticky notes yang berbeda. Masih di bulan Februari. Pertanyaan dan jawaban. Hal yang kusukai. Hal yang kulakukan. Hal yang melekat di hidupku. Aku membacanya. Ada tulisan. Ada gambar sebagai pelengkap tulisannya.
Why do you dance?
1. To express my feelings.
2. To deliver messages.
3. To give thanks to my FATHER.
4. To share my love.

Setelah membaca, aku teringat seseorang yang lain.
Hari itu. Mungkin hampir 10 tahun yang lalu. Aku dan beberapa temanku ke kosnya. Dia sengaja dikoskan di dekat gereja, supaya kami bisa lebih mudah dan sering menemuinya. Aku dan dia tercatat sebagai volunteer di bidang pelayanan yang sama. Dia masih muda. Usianya tidak terpaut jauh denganku. Dia sedang sakit. Ada sesuatu yang asing dan jahat di perutnya. Dia hanya berbaring di tempat tidur. Mamanya menemani. Dia meminta satu hal. Mengoyak hati. Dia memintaku menari untuknya saat itu. Aku mengiyakannya, tentu saja. Tarianku untuk dia, pertama kalinya, sekaligus menjadi yang terakhir. Dia kembali padaNya.

Aku mengambil sticky notes yang masih kosong. Menulis ulang serangkaian ‘why do you dance?’. Menempelkannya di dinding kamarku.

Siang hari tadi.
Memulai menulis materi blog.
Tentang dia yang namanya tertulis. Aku sudah bertekad. Aku ingin mengulang kebiasaan yang hilang itu. Sampai Ia menjawab doaku. Sampai aku bertemunya.

Menjelang sore.
Masih berkutat dengan tulisan.

Rahel, kau yang memulai permintaan itu. Aku tak akan menolak permintaan yang sama, jika kesempatan itu datang lagi. Jika aku bisa membuat yang terbaring sakit di tempat tidur menjadi tersenyum, bahagia dan membuatnya lupa akan sakitnya, walau sesaat… akan kulakukan. Karena aku tahu, hal ini pasti, hati yang gembira adalah obat. Begitu tertulis di bukuNya.

Akhirnya teringat salah satu sebutan lain yang baru saja diberikan padaku, kayu klengkeng. Setelah beberapa sebutan lain ‘bernada’ sama. Sebutan itu ada tentunya karena pengalaman yang dialami pemberi sebutan. Setidaknya, mereka memperhatikanku.

Yang 2 hari ini, atau mungkin 4 hari ini, punya cukup waktu untuk berhenti, beristirahat, dan berpikir.
Untuk mengalami arti nama depan yang diberikan maminya padanya.
Yang berpikir butuh sedikit waktu seperti ini, rutin.
Untuk lebih sadar dan peka lagi terhadap apa yang terjadi dalam kehidupannya.
Yang 2 hari ini menghabiskan banyak waktunya dalam kamar tidur, diatas tempat tidur, tapi bukan untuk tidur.

-Z33-
12.10.15 – 04.10pm

-Z33-
Posted from WordPress for Android

Terus, Ingat Kamu

Beberapa catatan singkat tentang mengingat seseorang:

1. Tiba di meja kerja dan menemukan sebuah bungkusan plastik kecil dengan nama pengirimnya di sebuah kertas. Segera kutelepon pengirimnya di lantai 2 untuk menyampaikan terima kasihku. “Tadi pagi waktu makan soto… terus, dia ingat kamu” jelas dia tentang istrinya yang membelikanku 2 butir telur asin bakar.

2. Janjian dengan salah satu koreografer senior di tempatku bekerja untuk membahas event di akhir bulan. Saat bertemu, aku menyelamati ultahnya secara langsung, sebelumnya hanya lewat BBM. Dia menyodorkan sebuah kado dengan tulisan tangan namaku di bagian atas. Aku merasa agak aneh karena yang berulangtahun dia, tapi malah aku yang dapat kado. “Waktu lihat ini… terus, ingat kamu”. Sejak saat itu, baggage tag bergambar anjing bertopi dan berdasi kotak-kotak selalu menemani tasku.

3. Saat hampir sampai di parkiran tempatku bekerja, aku melewati seorang penjual balon karakter. Semua balon yang kulihat saat itu sama. Aku membeli satu balon. Saat membeli saja aku sudah senang, membuatku tidak sabar menemuinya. Aku yakin dia pasti menyukainya. Benar saja, saat melihatku keluar menemuinya di lobby kantorku, dia melompat-lompat, menunjuk balon itu sambil berteriak girang “Baymax! Baymax!”. “Tadi waktu lewat, lihat ini… Terus, ingat dia” tunjukku pada dia, seorang siswa playgroup sebelah kantorku, anak temanku.

Diingat seseorang itu menyenangkan, mengingat seseorang juga sama. Yang kuketahui, biasanya hal ini diwujudkan dalam berbagai macam bentuk pemberian. Ada satu pemberian yang mungkin tidak diketahui penerimanya tapi itu adalah salah satu pemberian terbaik, DOA.

Yang mau menyampaikan “Aku diingatNya, kamu juga diingatNya”.
Udah, gitu aja.
-Z33-12.09.15 – 01:06 AM

-Z33-
Posted from WordPress for Android

Segitunya Ya…

Hari Minggu yang lalu, aku dan Siauny bersama dua orang temanku yang lain baru saja menyelesaikan makan siang di cafetaria kantor. Langkahku terhenti untuk membalas sapaan Pipit – seorang teman Connect Groupku – yang berdiri dengan seorang temannya di depan lobby. Mereka baru saja pulang dari Bukit Doa Immanuel Prigen.

Sesampainya kami di ruangan staf, aku mengerjakan sesuatu kemudian menoleh pada Siauny yang mengeluarkan bungkusan dari tasnya. Kupikir dia bawa kue apa, ternyata gorengan bakso yang tadi kami makan, sedangkan dia membungkusnya. Di bawah gorengan bakso itu, ada kotak kue. Aku berdiri, ingin tahu apa isinya. Hmm, sudah makan seporsi nasi sate ayam, dilanjut dengan gorengan bakso. Sudah tidak lapar, tapi masih saja ingin mengunyah (Ehm, kebanyakan wanita yang kukenal mengalami hal seperti ini juga). Tulisan tangan di atas kotak kue itu memberitahuku bahwa isinya ote-ote Porong. Siauny memesannya pada salah seorang rekan kerja asal Porong yang duduk 1 lorong di belakang kami, harganya 7000 rupiah dengan ukurannya separuh dari ote-ote Porong biasanya. Gawat, kok kepingin. Ya, cukup dalam hati saja. Siauny selalu berbagi makanan atau minuman yang dimilikinya, tapi kali ini dia tidak menawarkannya. Pasti dia mau memberi untuk keluarganya di rumah.

Aku kembali duduk. Tidak lama kemudian, Pipit yang kutemui di depan lobby tadi mendatangiku sambil menyodorkan kotak kue kecil terbungkus kantong plastik transparan. Aku membukanya, menutupnya, lalu secara halus menolaknya dengan alasan supaya Pipit memberinya pada anak atau mamanya saja di rumah. Pipit tidak menyetujuinya.
“Tuhan itu segitunya ya sama aku” kataku pada Pipit kemudian menjelaskan apa yang baru saja kualami.

Yang saat itu memegang kotak kue yang masih hangat, berisi dua dengan ukuran seperti biasanya, serta berbau khas. Di atas kotak kue itu tercetak tulisan “Ote-Ote Porong”
-Z33-
07.08.15 – 08.55 PM

-Z33-
Posted from WordPress for Android

Cerita Kecil

SURABAYA

  • Batal berangkat liburan tanggal 29 Desember 2014, membuat aku dan Felis sahabatku berangkat tanggal 01 Januari 2015 dengan tujuan Jawa Tengah: Semarang, Solo dan Jogja.
  • Aku sudah siap dijemput di rumah saat subuh tapi Felis belum datang juga. Kuputuskan untuk ke Alfamart terdekat untuk membeli snack dan mengambil uang tunai di situ. Baru tahu kalau maksimal pengambilan tunai di Alfamart itu 500ribu.
  • Yang ditunggu pun datang bersama taksi yang akan membawa kami ke Stasiun Pasar Turi. Saat di taksi, aku memastikan Felis membawa bukti pembelian tiket.
  • Kami akan naik Kereta Maharani jurusan Surabaya – Semarang pukul 06.00. Agak deg-degan juga karena tertulis di bukti pembelian tiket, menukarkan tiket 1 jam sebelum keberangkatan yang berarti jam 05.00. Ini pertama kalinya bagiku menggunakan tiket kereta yang dibeli di Alfamart, jadi wajar kalau deg-degan takut terlambat dan tidak bisa menggunakan tiketnya.
  • Sopir taksi pun saya minta untuk lewat di pasar saja, masih subuh, tidak ramai, mengingat lebih dekat ke jalan utama daripada harus memutar sampai daerah pelabuhan Tanjung Perak.
    Tidak tahu bagaimana, spion taksi menabrak besi tenda yang terpasang di tengah jalan yang dipakai warga sekitar untuk merayakan tahun baru semalam. Felis bertanya kondisi spionnya yang dijawab dengan nada kurang baik menurutku oleh sopirnya “Ya spion saya mbak yang kena”. Mendengar jawabannya, saya jadi agak kesal karena itu tiang juga dari tadi di situ, ngga gerak, penerangan jalan juga ada, jalan di sebelah kiri juga masih muat, ngapain mepet sampai nabrak tuh tiang… tapi aku diam, sudahlah.
  • Jalan beberapa meter, bapak sopir ijin turun untuk memperbaiki letak spionnya.
    Melewati perempatan pasar, si sopir taksi mengeluh atas pilihanku untuk mengambil rute pasar karena ada satu mobil ditinggal loading barang, berlawanan arah, di jalur keluar dari pasar… tapi aku diam, sudahlah.
  • Saat sudah berada di jalan utama, aku memutuskan untuk menarik nafas panjang dan tersenyum “Sudahlah. I won’t let it ruin my day. Menjalani hari itu pilihan. Mau dibuat senang atau kesal.”
  • Biaya taksi 44.000 ditambah biaya masuk 4.000. Saya menyodorkan 50.000, tak lupa mengucapkan terima kasih atas jasa yang dijualnya sekaligus pelajaran yang saya beli.
  • Bersemangat sekali saat menginjakkan kaki di stasiun. Kami langsung menuju ke loket tiket. Menyodorkan bukti pembelian tiket untuk dicetakkan tiket aslinya. KTP kami keluarkan, ternyata tidak diperiksa. Saat membaca tiket aslinya, ada biaya reduksi sebesar Rp.7500 karena membeli di channel mereka, alfamart. Dari 90.000 ke 82.500 per tiket.
  • Setelah selesai menukarkan tiket, kami duduk. Felis ragu apakah menunggu di ruangan itu. Setahu dia, seharusnya menunggu di gedung sebelah – berdasarkan pengalamannya waktu itu. Saya bilang, tahun lalu terakhir waktu mengantar mami naik kereta naiknya dari gedung ini. Dia masih bilang, waktu itu di gedung sebelah. Saya tanya ‘waktu itu’ itu kapan?. SMP jawabnya, which is belasan tahun lalu. Eaaa.. hahaha
  • Daripada menunggu dengan tidak pasti, saya menuju ke deretan orang yang baru saja mengantri untuk masuk naik kereta dan bertanya pada petugasnya. Ok, ini antrian untuk masuk ke kereta yang akan kami tumpangi. Dari jauh saya memberi kode pada Felis untuk segera mengantri bersama saya.
  • Saya itu bermasalah dengan antrian. Maksudnya, kalau ada yang menyerobot atau tiba-tiba dengan jiwa wirausahanya yang kreatif membuat jalur antrian jadi “buka cabang”…ooh itu masalah buat saya. Dan taraaa… ada mas gendut berani buka cabang pas di sebelah kanan saya. Salah satu iklan susu di tv langsung playing on my mind dan “Ngantri itu ke belakang, bukan ke samping” jadi kalimat sarapan buat dia.
  • Sekali lagi, kami menyiapkan tiket dan KTP, menyusunnya sesuai nama untuk kemudian diperiksa oleh petugas. Dengan menyusunnya sesuai nama, kerja petugas jadi lebih mudah. Bayangkan saja jika yang berangkat rombongan berisi 7 orang dan tiketnya tidak dipasangkan dengan KTPnya, petugasnya akan kewalahan.
  • Setelah melewati petugas, kami mencari gerbong kami. Begitu naik, kami langsung “Waahhh…”. Senang karena ini perjalanan bersama kami naik kereta untuk pertama kalinya dan keretanya bersih dan dingin.
  • Wah, harus difoto nih trus dikirimin ke seorang sahabat kami yang lain yang tidak mau ikut dengan alasan tidak mau naik kereta ekonomi. Menurutnya kereta ekonomi itu sesak, banyak orang dan bau keringat.
    Hey, tentu saja saya sudah mengumpulkan informasi tentang kereta ini sebelumnya dari orang yang sudah sering naik kereta ini dan informasinya saya dapatkan dari Mbak Rury yang nantinya akan menjemput kami di Semarang dan menjadi teman perjalanan kami saat di Jogjakarta.

2015101053016

  • Gerbong masih sepi, kami turun untuk berfotoria kemudian naik lagi saat sudah puas. Di dinding kereta disediakan stop kontak yang pastinya sudah menjadi kebutuhan primer di masa ini bukan?

 

2015101053034

2015101054526n

BELAJAR KE ‘TORAJA’ – BAG.2

Hari ke -2

22.07.08

 

Bagian Pertama

  • Bangun pagi banget. Semalem mimpi indah. Akankah menjadi kenyataan? Haha..
  • Ok, udaranya dingin. Pagi ini cuma cuci muka dan gosok gigi, lalu minum teh. Aku berangkat dengan Thomas untuk jalan-jalan, outbond gitu. Pakai celana pendek hitam, kaos hitam bergambar starbucks hadiah dari sahabat, jacket putih pemberian mama’ani, sepatu keds biru yang kupinjam dari sepupuku (liburan kali ini ngga bawa keds dari suroboyo), slayer hitam bunga-bunga dan syal hijau milik oma, kacamata, tas ransel serta perbekalan.
  • Tujuan pertama, rumah tante Thomas.
    Tujuan kedua, jembatan gantung.
    Tujuan ketiga, sungai.
    Tujuan keempat, sawah dan kerbau.
    Tujuan kelima, Sekolah Dasar.

 

  • Tentang Rumah Tante Thomas.
    Dari terasnya, aku bisa melihat pemandangan yang sangat indah.

    DSC00787

Gunung, sungai, dan sawah. Pemandangan ini seperti gambar kita saat SD kan?
Matahari dan burung-burungnya, absen.

 

  • Tentang Jembatan Gantung.
    DSC00797

Menyenangkan berada di atas jembatan ini!

Saat proses pembangunan, jembatan itu ambruk sehingga para tukangnya jatuh ke sungai. Patah tulang, tapi untungnya tidak ada korban jiwa. Begitu informasi yang kudapat.

 

  • Tentang sungai.

    Secara umum, sungainya bersih dari sampah plastik, tapi ngga luput dari ‘sampah’ manusia. Mungkin ada beberapa aja yang buang ‘kotoran’ di sungai (mungkin ga punya toilet kali ya) karena tadi pagi aku ngeliat kotorannya *eeuuwww…*.

    Oya, seorang teman Thomas menyusul dan bergabung dengan kami. Mereka senang difoto, apalagi saat aku pinjami kacamata. Lihat saja gaya mereka…

    DSC00822 DSC00810
    Thomas

 DSC00821 

DSC00824
Teman Thomas (Aku lupa namanya, dan tak mencatatnya)

 DSC00804Teman Thomas juga :p

DSC00816  DSC00818

Thomas dan teman-temannya

 

 

Bersambung.

Yang mencintai desa

-Z33-

11.05.15 – 03:29 pm

 

DIAM

“Karena aku ngga pingin kaya kamu. Kamu itu terlalu diam”, kata seorang temanku tiba-tiba membekukan suasana yang beberapa menit sebelumnya bercanda denganku. Seorang teman yang ngga kenal dekat, pastinya.

“Ayo dong, kamu yang ngomong. Masak dari tadi Oma terus. Oma bicaranya 90%, kamu 10%” desak omaku – aku tertawa – dan tak lama kemudian ia mengakhiri percakapan kami di telepon. Seringkali seperti itu, tapi  tetap saja seringkali juga aku yang meneleponnya duluan. Ya, ingin mendengar suaranya dan tahu keadaannya.

“Single, pinter nari. Bla.. bla.. bla.. Berkata satu kata berjuta makna” tulis seorang temanku saat berpikir menjual temannya sendiri di sebuah media sosial. Bendera perang dikibarkannya. Dan, berjuta makna?!

“Kalau mendengarkan saja cukup, kenapa harus bicara?” sebuah kalimat yang kuaminkan dengan keras saat menonton sebuah film di layar lebar di mall dekat kantor. See!

“Bikin kesel. Aku lirik aja. Kamu tahu kan lirikanku yang gimana” jelasku datar yang disambut bahakan tanda paham dari sahabatku, si Ratu Bacarita. Mungkin perbedaan kami ini menjadi salah satu faktor persahabatan 12 tahun tak henti.

Beberapa kejadian ‘diam’ akhirnya membuatku memikirkan ‘diam’ itu dalam diam. Mengungkapkannya dengan diam dalam tulisan ‘DIAM’.Yang suka, diam saja lah.
Yang tak suka, diam atau tidak diam akan kusambut dengan diam. Yang bertanya, jangan diam-diam.

Bukankah saling mendukung jika yang satu berbicara dan satunya diam mendengarkan?
Jika yang satu sangat suka berbicara, yang satunya diam menyeimbanginya.
Tidak bermaksud egois. Bukan tak ingin membagi cerita. Bukan itu.

Tidak seutuhnya, tapi dalam diam kutemukan kekuatanku. Aku tak membuang banyak energi. Lelah jika harus mengeluarkan perbendaharaan huruf yang sudah tersusun menjadi kata dan terangkai menjadi kalimat. Jika sampai beradu mulut, pasti lelahnya mengalahkan keluarga up-up. Beberapa set sit up, side up, push up, leg up, back up dan tak ketinggalan plank berdurasi 1 lagu.

Menikmati lawan bicara yang mencurahkan dengan deras aliran kata dari mulutnya, atau hanya menitik-nitikkannya dengan pasti. Tak luput, sekeliling lawan bicara yang bereaksi terhadap setiap pemilik kalimat. Aku menyukai prosesnya.

Dalam diam itu kudapatkan…
Ada yang dipikir secara matang, ada yang tidak. Kata-kata tak pernah bisa ditarik ulang.
Ada yang mencandain yang serius, ada yang menyeriusi yang becanda. Bisa kacau.
Ada yang terasa biasa, sangat membangun, sekedar menyayat hati, bahkan merobek jiwa. Pilihan, baik untuk yang menyampaikan maupun yang mendengar. Ya, pilihan.
Semacam kado. Ada yang dibungkus rapi dan indah, ada yang seadanya saja. Ada yang dikemas dalam plastik transparan, ada yang dibungkus kertas kado atau koran berlapis-lapis.
Ada yang hanya transit di hidung (aku menyebutnya begitu karena letaknya di tengah wajah – di antara telinga), masuk kiri keluar kanan. Ada yang seperti bola bekel, nge-per, ngga sempat masuk. Ada yang normal, input-proses-ouput. Malah, ada yang diendapkan di hati.

Yang setuju bahwa nama mempengaruhi kepribadian seseorang.
-Z33-
10.06.15 – 01:45am

-Z33-
Posted from WordPress for Android

Senyuman

Pernah senyum ke orang tapi salah orang? Atau pernah senyum tapi dicuekin? Entah karena yang disenyumin ngga ngenalin kalau itu kita atau ngga kelihatan kalau lagi disenyumin karena matanya minus. Atau sebaliknya, kita disenyumin tapi kita cuekin?

Selama ini yang saya tahu tentang senyuman … senyum manis, senyum kecut, senyum lebar, senyum sinis, senyum tipis, senyum-senyum sendiri, senyum itu menular, senyum aja kan gratis, tetap tersenyum, senyum genit, senyum Joel Osteen, senyum monyong ala bebek, dan senyum lain-lain. Btw, yang kuliah di Petra, pasti tahu… Om Senyum.

Senyuman ternyata bisa memberkati “Senyumanmu memberkatiku”, begitu kata seorang temanku pada temannya.

Beberapa waktu lalu saya bertemu seseorang, yang paling saya ingat itu adalah senyumannya. Sangat sedikit orang yang senyumannya mampu menarik perhatian saya. Tiap bertemu orang itu, yang saya nanti adalah senyumannya. Hmm, deretan gigi yang rapi, senyum yang lebar, ramah dan , mata yang antusias. Sudah terbayang kan senyumannya? Man!

Senyuman itu sesuatu yang dimiliki seseorang di wajahnya, yang meluap dari hatinya dan terbaca di matanya. Sebuah senyuman bisa dimiliki semua orang, bisa juga tidak bisa dimiliki semua orang karena hanya ada seorang yang memiliki senyum itu, senyum yang khas.

Yang sedang menikmati sate ayam sambil tersenyum,
-Z33-
31.03.15 – 11.43pm

-Z33-
Posted from WordPress for Android

Belajar ke ‘Toraja’ – Bag.1

Makassar. Jadi ceritanya, saya dan mami pergi karena ajakan Tante Tina. Pada kesempatan ini, ada kerabat beliau yang akan menikah. Bersama dengan Thomas, anak yang diasuh Tante Tina, kami berempat pergi ke desa asal mereka. Setahu saya Tante Tina itu berasal dari Toraja, jadi saya membayangkan akan pergi ke desa yang penuh dengan adat. Excited? Tentu saja!

Hari itu, Om Anto yang adalah suami Tante Tina tidak bisa mengantar kami sampai ke tempat tujuan karena ada kepentingan lain, maka setelah menempuh satu jam perjalanan dengan mobil dari rumah tibalah kami di Terminal Daya.

Naik transportasi umum keluar kota itu ada kesenangannya sendiri. Tentu saja saya menyukai duduk di samping jendela karena saya bisa merasakan angin, mencium bau selain bau kota, serta melihat alam dan sekitar dengan lebih jelas. Kali ini bis membuat saya sedikit tidak betah duduk, pantat saya rasanya rata dan panas. Wajar! 8 jam perjalanan dan ini bukan bus eksekutif!

Selamat datang di Messawa! Kira-kira begitu kalimat yang sepantasnya didapatkan pantat yang rata dan panas tadi begitu menjejakkan kaki di tanah.

Banyak hal baru yang saya pelajari dan alami. Menantang! Bidang yang saya sukai, komunikasi antarbudaya.

Ini beberapa hal yang saya catat di kertas saat itu:

Hari ke-1
21.07.08
Bagian Pertama

– Waktu pertama kali tiba, kami tidak langsung menuju rumah mempelai tapi ke rumah tantenya Thomas. Benar-benar membuatku teringat COP (Community Outreach Program) yang pernah saya ikuti 2 tahun lalu, para penduduk berkumpul dan berbahasa daerah yang sama sekali tidak saya mengerti. Jadi saat mereka berbahasa daerah, Tante Tina menerjemahkannya ke bahasa Indonesia. Saat COP, saya termasuk ‘penerjemah’ di grup. (COP akan saya bahas di postingan yang lain)
– Minum, ngga, minum, ngga… Minum deh! Penasaran! Rasanya ya seperti air putih, tapi agak lain. Disebabkan kayunya. Air minum yang disuguhkan warnanya pink tapi tetap bening. Jadi bisakah itu disebut air putih? Atau air pink?

Bagian Kedua
– Kami menginap di rumah mempelai wanita, kecuali Thomas. Dia tidur di keluarganya. Menyenangkan memang dia bisa bertemu orangtua dan saudara-saudaranya.
– Rumah penduduk adalah rumah panggung. Saat ada acara (seperti acara pernikahan yang akan kami hadiri), dinding-dinding rumah bagian tengah ke depan yang terbuat dari papan-papan kayu dilepas dan digunakan untuk lantai untuk para tamu di bawah rumah panggung.
– Saat kami datang rumah ini ramai karena banyak saudara mempelai yang datang. Pernikahannya bukan hari ini sih, belum.
– Mereka tidak makan lombok, jadi tidak ada pohon lombok.
– Malam ini yang saya temui, mereka masak anjing yang direbus dan kuahnya diminum. Kaget? Iya!
Makanan kebanyakan direbus. Waktu itu saya jadi berpikir tidak akan ada kolesterol dan tekanan darah tinggi disini. Mereka sehat. Bukan tentang anjingnya ya, tapi tentang makanan, lauk dan sayur yang direbus. #sayatidakmakananjing #sayasayanganjing
– Saya melihat seorang wanita muda sekitar usia 20 tahun dengan seorang anak dan suami yang usianya jauh lebih tua. Saya berpikir mungkin gadis-gadis disini menikah di usia muda dengan pria yang jauh lebih tua, sekitar usia 30 tahun. Calon mempelai yang kutemui tadi juga usianya sekitar 18 tahun.
– Mereka sedang membuat kue saat kami ada disana. Nama kue-kue yang dibuat itu: bangke, deppatori, dan kue cacing. Deppatori jadi favorit saya. Mereka bisa membuat kue sebanyak 25 blek kerupuk dalam 1 hari. Wow!
– Benar-benar desa. Waktu pertama kali mau masuk ke toiletnya, saya sangat berharap semoga WC-nya bukan ‘jumleng’ kaya di COP. Dan… Thanks God ngga!!!
Hmm, tapi dinding kamar mandinya tersusun dari papan-papan kayu yang tidak rapat. Ada banyak celah disana. Oke, aku mandi pakai sarung.
– Mempelai wanita punya adik cowok yang peduli padanya. Good!
Saat malam, semua orang berkumpul di ruang tamu. Semuanya memakai sarung tenun, buatan tangan. Sangat nyaman dan hangat. Kami dipinjami sarung itu. Berfoto bersama mereka sangat menyenangkan.

image

– Tidak ada sinyal. Kalau mau dapat sinyal, harus ke daerah rumah tantenya Thomas yang berdataran lebih tinggi dari rumah yang kami inapi. Susah banget.

Yang waktu itu baru tau kalau Messawa itu bukan Toraja.
Bersambung.
-Z33-
28.02.15 – 22:33pm

-Z33-
Posted from WordPress for Android