“Karena aku ngga pingin kaya kamu. Kamu itu terlalu diam”, kata seorang temanku tiba-tiba membekukan suasana yang beberapa menit sebelumnya bercanda denganku. Seorang teman yang ngga kenal dekat, pastinya.
“Ayo dong, kamu yang ngomong. Masak dari tadi Oma terus. Oma bicaranya 90%, kamu 10%” desak omaku – aku tertawa – dan tak lama kemudian ia mengakhiri percakapan kami di telepon. Seringkali seperti itu, tapi tetap saja seringkali juga aku yang meneleponnya duluan. Ya, ingin mendengar suaranya dan tahu keadaannya.
“Single, pinter nari. Bla.. bla.. bla.. Berkata satu kata berjuta makna” tulis seorang temanku saat berpikir menjual temannya sendiri di sebuah media sosial. Bendera perang dikibarkannya. Dan, berjuta makna?!
“Kalau mendengarkan saja cukup, kenapa harus bicara?” sebuah kalimat yang kuaminkan dengan keras saat menonton sebuah film di layar lebar di mall dekat kantor. See!
“Bikin kesel. Aku lirik aja. Kamu tahu kan lirikanku yang gimana” jelasku datar yang disambut bahakan tanda paham dari sahabatku, si Ratu Bacarita. Mungkin perbedaan kami ini menjadi salah satu faktor persahabatan 12 tahun tak henti.
Beberapa kejadian ‘diam’ akhirnya membuatku memikirkan ‘diam’ itu dalam diam. Mengungkapkannya dengan diam dalam tulisan ‘DIAM’.Yang suka, diam saja lah.
Yang tak suka, diam atau tidak diam akan kusambut dengan diam. Yang bertanya, jangan diam-diam.
Bukankah saling mendukung jika yang satu berbicara dan satunya diam mendengarkan?
Jika yang satu sangat suka berbicara, yang satunya diam menyeimbanginya.
Tidak bermaksud egois. Bukan tak ingin membagi cerita. Bukan itu.
Tidak seutuhnya, tapi dalam diam kutemukan kekuatanku. Aku tak membuang banyak energi. Lelah jika harus mengeluarkan perbendaharaan huruf yang sudah tersusun menjadi kata dan terangkai menjadi kalimat. Jika sampai beradu mulut, pasti lelahnya mengalahkan keluarga up-up. Beberapa set sit up, side up, push up, leg up, back up dan tak ketinggalan plank berdurasi 1 lagu.
Menikmati lawan bicara yang mencurahkan dengan deras aliran kata dari mulutnya, atau hanya menitik-nitikkannya dengan pasti. Tak luput, sekeliling lawan bicara yang bereaksi terhadap setiap pemilik kalimat. Aku menyukai prosesnya.
Dalam diam itu kudapatkan…
Ada yang dipikir secara matang, ada yang tidak. Kata-kata tak pernah bisa ditarik ulang.
Ada yang mencandain yang serius, ada yang menyeriusi yang becanda. Bisa kacau.
Ada yang terasa biasa, sangat membangun, sekedar menyayat hati, bahkan merobek jiwa. Pilihan, baik untuk yang menyampaikan maupun yang mendengar. Ya, pilihan.
Semacam kado. Ada yang dibungkus rapi dan indah, ada yang seadanya saja. Ada yang dikemas dalam plastik transparan, ada yang dibungkus kertas kado atau koran berlapis-lapis.
Ada yang hanya transit di hidung (aku menyebutnya begitu karena letaknya di tengah wajah – di antara telinga), masuk kiri keluar kanan. Ada yang seperti bola bekel, nge-per, ngga sempat masuk. Ada yang normal, input-proses-ouput. Malah, ada yang diendapkan di hati.
Yang setuju bahwa nama mempengaruhi kepribadian seseorang.
-Z33-
10.06.15 – 01:45am
-Z33-
Posted from WordPress for Android