Dua Stik Mungkin Cukup

Saat sedang duduk menyenangkan mata dengan video tari kontemporer yang kedua dari Youtube, Jason – murid TK, anak rekan sekerja – datang berdiri tepat di sebelahku. Ia sedang makan sekeping cracker. Matanya mencari tahu apa kesenanganku beberapa menit sebelum kedatangannya. Aku memakaikan headsetku padanya. Hanya sejenak ia mendengar dan melihat gambar bergerak itu, kemudian ia pergi. Aku melanjutkan kesenanganku.

Jason kembali berdiri tepat di sebelah tempat aku duduk dalam hitungan tidak lebih dari sepuluh detik. Dua keping cracker ditunjukkannya kepadaku. Ah, aku sedang tidak ingin makan cracker. Aku mengisyaratkan supaya dia memakan semuanya. Dia menangkupkan cracker itu dengan serius, membuka mulutnya lebar-lebar, menggigitnya sekali dengan mata tertuju pada mataku, lalu membuka tangkupan itu pas di depan wajahku, kemudian ia pergi. Aku melanjutkan kesenanganku.

Tidak kalah cepat dengan sebelumnya, ia kembali dengan membawa lebih banyak cracker. Senyum tak lupa mendampinginya. Baik, aku paham. Sesungguhnya bukan cracker yang ditawarkannya.

 

Mungkin setelah ini aku bisa pergi membeli sebungkus biskuit stik rasa green tea. Menyimpannya dalam tas. Ketika diaturNya duduk di sebelahmu suatu hari, aku bisa mengeluarkan sebungkus biskuit stik rasa green tea itu dari dalam tas. Membuka bagian atas kemasannya. Mengambil dua stik biskuit rasa green tea itu dan menyodorkan satu padamu dengan tersenyum simpul.

 

-Z33-

05.09.15 – suatu siang

 

2016214064247

Belajar ke ‘Toraja’ – Bag.1

Makassar. Jadi ceritanya, saya dan mami pergi karena ajakan Tante Tina. Pada kesempatan ini, ada kerabat beliau yang akan menikah. Bersama dengan Thomas, anak yang diasuh Tante Tina, kami berempat pergi ke desa asal mereka. Setahu saya Tante Tina itu berasal dari Toraja, jadi saya membayangkan akan pergi ke desa yang penuh dengan adat. Excited? Tentu saja!

Hari itu, Om Anto yang adalah suami Tante Tina tidak bisa mengantar kami sampai ke tempat tujuan karena ada kepentingan lain, maka setelah menempuh satu jam perjalanan dengan mobil dari rumah tibalah kami di Terminal Daya.

Naik transportasi umum keluar kota itu ada kesenangannya sendiri. Tentu saja saya menyukai duduk di samping jendela karena saya bisa merasakan angin, mencium bau selain bau kota, serta melihat alam dan sekitar dengan lebih jelas. Kali ini bis membuat saya sedikit tidak betah duduk, pantat saya rasanya rata dan panas. Wajar! 8 jam perjalanan dan ini bukan bus eksekutif!

Selamat datang di Messawa! Kira-kira begitu kalimat yang sepantasnya didapatkan pantat yang rata dan panas tadi begitu menjejakkan kaki di tanah.

Banyak hal baru yang saya pelajari dan alami. Menantang! Bidang yang saya sukai, komunikasi antarbudaya.

Ini beberapa hal yang saya catat di kertas saat itu:

Hari ke-1
21.07.08
Bagian Pertama

– Waktu pertama kali tiba, kami tidak langsung menuju rumah mempelai tapi ke rumah tantenya Thomas. Benar-benar membuatku teringat COP (Community Outreach Program) yang pernah saya ikuti 2 tahun lalu, para penduduk berkumpul dan berbahasa daerah yang sama sekali tidak saya mengerti. Jadi saat mereka berbahasa daerah, Tante Tina menerjemahkannya ke bahasa Indonesia. Saat COP, saya termasuk ‘penerjemah’ di grup. (COP akan saya bahas di postingan yang lain)
– Minum, ngga, minum, ngga… Minum deh! Penasaran! Rasanya ya seperti air putih, tapi agak lain. Disebabkan kayunya. Air minum yang disuguhkan warnanya pink tapi tetap bening. Jadi bisakah itu disebut air putih? Atau air pink?

Bagian Kedua
– Kami menginap di rumah mempelai wanita, kecuali Thomas. Dia tidur di keluarganya. Menyenangkan memang dia bisa bertemu orangtua dan saudara-saudaranya.
– Rumah penduduk adalah rumah panggung. Saat ada acara (seperti acara pernikahan yang akan kami hadiri), dinding-dinding rumah bagian tengah ke depan yang terbuat dari papan-papan kayu dilepas dan digunakan untuk lantai untuk para tamu di bawah rumah panggung.
– Saat kami datang rumah ini ramai karena banyak saudara mempelai yang datang. Pernikahannya bukan hari ini sih, belum.
– Mereka tidak makan lombok, jadi tidak ada pohon lombok.
– Malam ini yang saya temui, mereka masak anjing yang direbus dan kuahnya diminum. Kaget? Iya!
Makanan kebanyakan direbus. Waktu itu saya jadi berpikir tidak akan ada kolesterol dan tekanan darah tinggi disini. Mereka sehat. Bukan tentang anjingnya ya, tapi tentang makanan, lauk dan sayur yang direbus. #sayatidakmakananjing #sayasayanganjing
– Saya melihat seorang wanita muda sekitar usia 20 tahun dengan seorang anak dan suami yang usianya jauh lebih tua. Saya berpikir mungkin gadis-gadis disini menikah di usia muda dengan pria yang jauh lebih tua, sekitar usia 30 tahun. Calon mempelai yang kutemui tadi juga usianya sekitar 18 tahun.
– Mereka sedang membuat kue saat kami ada disana. Nama kue-kue yang dibuat itu: bangke, deppatori, dan kue cacing. Deppatori jadi favorit saya. Mereka bisa membuat kue sebanyak 25 blek kerupuk dalam 1 hari. Wow!
– Benar-benar desa. Waktu pertama kali mau masuk ke toiletnya, saya sangat berharap semoga WC-nya bukan ‘jumleng’ kaya di COP. Dan… Thanks God ngga!!!
Hmm, tapi dinding kamar mandinya tersusun dari papan-papan kayu yang tidak rapat. Ada banyak celah disana. Oke, aku mandi pakai sarung.
– Mempelai wanita punya adik cowok yang peduli padanya. Good!
Saat malam, semua orang berkumpul di ruang tamu. Semuanya memakai sarung tenun, buatan tangan. Sangat nyaman dan hangat. Kami dipinjami sarung itu. Berfoto bersama mereka sangat menyenangkan.

image

– Tidak ada sinyal. Kalau mau dapat sinyal, harus ke daerah rumah tantenya Thomas yang berdataran lebih tinggi dari rumah yang kami inapi. Susah banget.

Yang waktu itu baru tau kalau Messawa itu bukan Toraja.
Bersambung.
-Z33-
28.02.15 – 22:33pm

-Z33-
Posted from WordPress for Android