Pendet

Berawal dari keinginan saya belajar tari tradisional di tahun 2013, maka saya membuat target untuk mengambil les tari tradisional di awal tahun 2014. Saya googling tempat les tari tradisional dan berakhir dengan bertanya pada pengajar les hiphop saya dulu. Saya mendapatkan kontak pengajar tradisional – si mbak itu – darinya yang kemudian saya coba hubungi.
Saya menelepon si mbak, bertanya seputar sanggar tradisional yang dimiliki dan bilang mau datang kesana untuk mendaftar. Diiyakannya. Saat saya konfirmasi untuk kedatangan saya kesana, tidak ada respon lagi darinya. Saya telepon ngga dibalas, sms juga bernasib sama. Saya jadi kesal. Akhirnya, target saya tidak tercapai di tahun 2014. Yah, sepertinya saya kurang gigih juga dalam berjuang mencari tempat les.

Tahun ini, saya belajar tari tradisional (akhirnya!!!). Tari Pendet, sebuah tari tradisional dari Bali. Mudah bagi saya? Tentu saja… tidak! Saya sama sekali tidak pernah belajar tari tradisional sebelumnya. Saya tidak terbiasa dengan musiknya, postur badannya, cara mengajar pengajarnya, dan semuanya… tidak ada yang membuat saya terbiasa dan nyaman.
Saat latihan-latihan, beberapa kali saya hampir menangis. Saya ngga bisa hafal tariannya dengan baik. Salah terus. Saya kesal pada diri saya sendiri karena ngga hafal-hafal. Bagian-bagian musiknya menurut saya sama, susah dihafal, ngga ada liriknya. Beberapa gerakannya juga begitu, kanan dan kiri sama. Ada gerakan pokok di setiap set. Harus menghafal istilah-istilah gerakan dalam bahasa daerah. Rasanya ada beban yang berat ditimpakan di dada (read: nyesek) saat melihat ekspresi salah satu pengajarnya agak kesal. Aaagh…! Lebih tertekan lagi saat bertanya pada pengajarnya dan dijawab biasanya materi ini diselesaikan dalam waktu 2 bulan. Saat ini, saya sudah masuk bulan ketiga!

Setiap kali hampir menangis itu, ingin rasanya kelas hari itu disudahi saja dan segera pulang (tapi kelas selanjutnya pasti tetap datang). Tapi di sisi lain, diri saya memaksa untuk bagaimanapun caranya harus bisa menyelesaikan tarian ini. Pantang berhenti, malu sama diri sendiri.

Secara subyektif, tari tradisional kurang diminati di jaman sekarang ini. Lebih banyak yang berminat pada hiphop. Saya memilih untuk belajar tari tradisional salah satunya diawali dengan pikiran “Masak orang Surabaya ngga bisa nari Remo?”.

Yang saya pelajari saat belajar tari tradisional ini banyak sekali, diantaranya: kesabaran, pengendalian diri, melatih kekuatan kaki, semangat untuk terus belajar hal yang baru -yang kadang dianggap susah bahkan tidak disukai-, dll.

Nonton tari pendet itu asyik banget. Feminin, lembut tapi ada ketegasan disana, dan gerakannya mengalir tanpa henti. Proses latihannya yang… Maaak! Bagaimana membuat otak, kepala, mata, tangan, jari, bahu, dada, pinggul, kaki, ekspresi, power dan perasaan bisa bekerjasama dalam waktu sekitar 8 – 9 menit.

Yang mencintai budaya Indonesia
-Z33-
19.05.15 – 10:59 pm

-Z33-
Posted from WordPress for Android

Nama-nama Itu

Dini hari tadi.
Aku membuka buku agendaku. Kumulai dari bagian depan. Banyak sticky notes kutempel disana. Aku membaca selembar sticky notes di bulan Februari. Isinya pokok doa. Nama seseorang tertulis disana. Di baris paling atas. Aku tersadar. Aku tidak pernah mendoakannya lagi beberapa bulan ini. Merasa bersalah. Haruskah merasa bersalah? Entahlah, itu yang kurasakan. Dia tidak tahu aku mendoakannya. Dia juga tidak tahu juga kalau aku tidak mendoakannya. Tuhan yang tahu. Aku merasa egois, sedikit.

Satu nama lain terlintas di pikiranku. Ya, aku harus menghubunginya. Dia pasti tahu.Aku membuka sebuah aplikasi media sosial. Mencari nama yang terlintas tadi. Mengiriminya pesan. 2 kalimat. Sapaan untuk nama yang terlintas dan pertanyaan tentang kabar dia yang namanya tertulis. Waktu menunjukkan pukul 00:44.

Pagi hari tadi.
Pesanku dibalas. Aku jadi tahu kabar nama yang kutulis. Aku dan nama yang terlintas saling bertukar pesan. Sebuah harapan kuangkat. Semoga aku bisa bertemu dengan nama yang kutulis. Membayangkan kira-kira bagaimana saat aku bertemunya. Nanti.

Menjelang siang tadi.
Aku kembali membuka buku agendaku. Nama yang tertulis itu ada di lembaran sticky notes lain. Di bulan-bulan yang lain. Kembali tersadar. Ada sebuah kebiasaan yang hilang. Aku menyesalinya.

Di lembaran sticky notes yang berbeda. Masih di bulan Februari. Pertanyaan dan jawaban. Hal yang kusukai. Hal yang kulakukan. Hal yang melekat di hidupku. Aku membacanya. Ada tulisan. Ada gambar sebagai pelengkap tulisannya.
Why do you dance?
1. To express my feelings.
2. To deliver messages.
3. To give thanks to my FATHER.
4. To share my love.

Setelah membaca, aku teringat seseorang yang lain.
Hari itu. Mungkin hampir 10 tahun yang lalu. Aku dan beberapa temanku ke kosnya. Dia sengaja dikoskan di dekat gereja, supaya kami bisa lebih mudah dan sering menemuinya. Aku dan dia tercatat sebagai volunteer di bidang pelayanan yang sama. Dia masih muda. Usianya tidak terpaut jauh denganku. Dia sedang sakit. Ada sesuatu yang asing dan jahat di perutnya. Dia hanya berbaring di tempat tidur. Mamanya menemani. Dia meminta satu hal. Mengoyak hati. Dia memintaku menari untuknya saat itu. Aku mengiyakannya, tentu saja. Tarianku untuk dia, pertama kalinya, sekaligus menjadi yang terakhir. Dia kembali padaNya.

Aku mengambil sticky notes yang masih kosong. Menulis ulang serangkaian ‘why do you dance?’. Menempelkannya di dinding kamarku.

Siang hari tadi.
Memulai menulis materi blog.
Tentang dia yang namanya tertulis. Aku sudah bertekad. Aku ingin mengulang kebiasaan yang hilang itu. Sampai Ia menjawab doaku. Sampai aku bertemunya.

Menjelang sore.
Masih berkutat dengan tulisan.

Rahel, kau yang memulai permintaan itu. Aku tak akan menolak permintaan yang sama, jika kesempatan itu datang lagi. Jika aku bisa membuat yang terbaring sakit di tempat tidur menjadi tersenyum, bahagia dan membuatnya lupa akan sakitnya, walau sesaat… akan kulakukan. Karena aku tahu, hal ini pasti, hati yang gembira adalah obat. Begitu tertulis di bukuNya.

Akhirnya teringat salah satu sebutan lain yang baru saja diberikan padaku, kayu klengkeng. Setelah beberapa sebutan lain ‘bernada’ sama. Sebutan itu ada tentunya karena pengalaman yang dialami pemberi sebutan. Setidaknya, mereka memperhatikanku.

Yang 2 hari ini, atau mungkin 4 hari ini, punya cukup waktu untuk berhenti, beristirahat, dan berpikir.
Untuk mengalami arti nama depan yang diberikan maminya padanya.
Yang berpikir butuh sedikit waktu seperti ini, rutin.
Untuk lebih sadar dan peka lagi terhadap apa yang terjadi dalam kehidupannya.
Yang 2 hari ini menghabiskan banyak waktunya dalam kamar tidur, diatas tempat tidur, tapi bukan untuk tidur.

-Z33-
12.10.15 – 04.10pm

-Z33-
Posted from WordPress for Android

Cerita Kecil

SURABAYA

  • Batal berangkat liburan tanggal 29 Desember 2014, membuat aku dan Felis sahabatku berangkat tanggal 01 Januari 2015 dengan tujuan Jawa Tengah: Semarang, Solo dan Jogja.
  • Aku sudah siap dijemput di rumah saat subuh tapi Felis belum datang juga. Kuputuskan untuk ke Alfamart terdekat untuk membeli snack dan mengambil uang tunai di situ. Baru tahu kalau maksimal pengambilan tunai di Alfamart itu 500ribu.
  • Yang ditunggu pun datang bersama taksi yang akan membawa kami ke Stasiun Pasar Turi. Saat di taksi, aku memastikan Felis membawa bukti pembelian tiket.
  • Kami akan naik Kereta Maharani jurusan Surabaya – Semarang pukul 06.00. Agak deg-degan juga karena tertulis di bukti pembelian tiket, menukarkan tiket 1 jam sebelum keberangkatan yang berarti jam 05.00. Ini pertama kalinya bagiku menggunakan tiket kereta yang dibeli di Alfamart, jadi wajar kalau deg-degan takut terlambat dan tidak bisa menggunakan tiketnya.
  • Sopir taksi pun saya minta untuk lewat di pasar saja, masih subuh, tidak ramai, mengingat lebih dekat ke jalan utama daripada harus memutar sampai daerah pelabuhan Tanjung Perak.
    Tidak tahu bagaimana, spion taksi menabrak besi tenda yang terpasang di tengah jalan yang dipakai warga sekitar untuk merayakan tahun baru semalam. Felis bertanya kondisi spionnya yang dijawab dengan nada kurang baik menurutku oleh sopirnya “Ya spion saya mbak yang kena”. Mendengar jawabannya, saya jadi agak kesal karena itu tiang juga dari tadi di situ, ngga gerak, penerangan jalan juga ada, jalan di sebelah kiri juga masih muat, ngapain mepet sampai nabrak tuh tiang… tapi aku diam, sudahlah.
  • Jalan beberapa meter, bapak sopir ijin turun untuk memperbaiki letak spionnya.
    Melewati perempatan pasar, si sopir taksi mengeluh atas pilihanku untuk mengambil rute pasar karena ada satu mobil ditinggal loading barang, berlawanan arah, di jalur keluar dari pasar… tapi aku diam, sudahlah.
  • Saat sudah berada di jalan utama, aku memutuskan untuk menarik nafas panjang dan tersenyum “Sudahlah. I won’t let it ruin my day. Menjalani hari itu pilihan. Mau dibuat senang atau kesal.”
  • Biaya taksi 44.000 ditambah biaya masuk 4.000. Saya menyodorkan 50.000, tak lupa mengucapkan terima kasih atas jasa yang dijualnya sekaligus pelajaran yang saya beli.
  • Bersemangat sekali saat menginjakkan kaki di stasiun. Kami langsung menuju ke loket tiket. Menyodorkan bukti pembelian tiket untuk dicetakkan tiket aslinya. KTP kami keluarkan, ternyata tidak diperiksa. Saat membaca tiket aslinya, ada biaya reduksi sebesar Rp.7500 karena membeli di channel mereka, alfamart. Dari 90.000 ke 82.500 per tiket.
  • Setelah selesai menukarkan tiket, kami duduk. Felis ragu apakah menunggu di ruangan itu. Setahu dia, seharusnya menunggu di gedung sebelah – berdasarkan pengalamannya waktu itu. Saya bilang, tahun lalu terakhir waktu mengantar mami naik kereta naiknya dari gedung ini. Dia masih bilang, waktu itu di gedung sebelah. Saya tanya ‘waktu itu’ itu kapan?. SMP jawabnya, which is belasan tahun lalu. Eaaa.. hahaha
  • Daripada menunggu dengan tidak pasti, saya menuju ke deretan orang yang baru saja mengantri untuk masuk naik kereta dan bertanya pada petugasnya. Ok, ini antrian untuk masuk ke kereta yang akan kami tumpangi. Dari jauh saya memberi kode pada Felis untuk segera mengantri bersama saya.
  • Saya itu bermasalah dengan antrian. Maksudnya, kalau ada yang menyerobot atau tiba-tiba dengan jiwa wirausahanya yang kreatif membuat jalur antrian jadi “buka cabang”…ooh itu masalah buat saya. Dan taraaa… ada mas gendut berani buka cabang pas di sebelah kanan saya. Salah satu iklan susu di tv langsung playing on my mind dan “Ngantri itu ke belakang, bukan ke samping” jadi kalimat sarapan buat dia.
  • Sekali lagi, kami menyiapkan tiket dan KTP, menyusunnya sesuai nama untuk kemudian diperiksa oleh petugas. Dengan menyusunnya sesuai nama, kerja petugas jadi lebih mudah. Bayangkan saja jika yang berangkat rombongan berisi 7 orang dan tiketnya tidak dipasangkan dengan KTPnya, petugasnya akan kewalahan.
  • Setelah melewati petugas, kami mencari gerbong kami. Begitu naik, kami langsung “Waahhh…”. Senang karena ini perjalanan bersama kami naik kereta untuk pertama kalinya dan keretanya bersih dan dingin.
  • Wah, harus difoto nih trus dikirimin ke seorang sahabat kami yang lain yang tidak mau ikut dengan alasan tidak mau naik kereta ekonomi. Menurutnya kereta ekonomi itu sesak, banyak orang dan bau keringat.
    Hey, tentu saja saya sudah mengumpulkan informasi tentang kereta ini sebelumnya dari orang yang sudah sering naik kereta ini dan informasinya saya dapatkan dari Mbak Rury yang nantinya akan menjemput kami di Semarang dan menjadi teman perjalanan kami saat di Jogjakarta.

2015101053016

  • Gerbong masih sepi, kami turun untuk berfotoria kemudian naik lagi saat sudah puas. Di dinding kereta disediakan stop kontak yang pastinya sudah menjadi kebutuhan primer di masa ini bukan?

 

2015101053034

2015101054526n

BELAJAR KE ‘TORAJA’ – BAG.2

Hari ke -2

22.07.08

 

Bagian Pertama

  • Bangun pagi banget. Semalem mimpi indah. Akankah menjadi kenyataan? Haha..
  • Ok, udaranya dingin. Pagi ini cuma cuci muka dan gosok gigi, lalu minum teh. Aku berangkat dengan Thomas untuk jalan-jalan, outbond gitu. Pakai celana pendek hitam, kaos hitam bergambar starbucks hadiah dari sahabat, jacket putih pemberian mama’ani, sepatu keds biru yang kupinjam dari sepupuku (liburan kali ini ngga bawa keds dari suroboyo), slayer hitam bunga-bunga dan syal hijau milik oma, kacamata, tas ransel serta perbekalan.
  • Tujuan pertama, rumah tante Thomas.
    Tujuan kedua, jembatan gantung.
    Tujuan ketiga, sungai.
    Tujuan keempat, sawah dan kerbau.
    Tujuan kelima, Sekolah Dasar.

 

  • Tentang Rumah Tante Thomas.
    Dari terasnya, aku bisa melihat pemandangan yang sangat indah.

    DSC00787

Gunung, sungai, dan sawah. Pemandangan ini seperti gambar kita saat SD kan?
Matahari dan burung-burungnya, absen.

 

  • Tentang Jembatan Gantung.
    DSC00797

Menyenangkan berada di atas jembatan ini!

Saat proses pembangunan, jembatan itu ambruk sehingga para tukangnya jatuh ke sungai. Patah tulang, tapi untungnya tidak ada korban jiwa. Begitu informasi yang kudapat.

 

  • Tentang sungai.

    Secara umum, sungainya bersih dari sampah plastik, tapi ngga luput dari ‘sampah’ manusia. Mungkin ada beberapa aja yang buang ‘kotoran’ di sungai (mungkin ga punya toilet kali ya) karena tadi pagi aku ngeliat kotorannya *eeuuwww…*.

    Oya, seorang teman Thomas menyusul dan bergabung dengan kami. Mereka senang difoto, apalagi saat aku pinjami kacamata. Lihat saja gaya mereka…

    DSC00822 DSC00810
    Thomas

 DSC00821 

DSC00824
Teman Thomas (Aku lupa namanya, dan tak mencatatnya)

 DSC00804Teman Thomas juga :p

DSC00816  DSC00818

Thomas dan teman-temannya

 

 

Bersambung.

Yang mencintai desa

-Z33-

11.05.15 – 03:29 pm

 

DIAM

“Karena aku ngga pingin kaya kamu. Kamu itu terlalu diam”, kata seorang temanku tiba-tiba membekukan suasana yang beberapa menit sebelumnya bercanda denganku. Seorang teman yang ngga kenal dekat, pastinya.

“Ayo dong, kamu yang ngomong. Masak dari tadi Oma terus. Oma bicaranya 90%, kamu 10%” desak omaku – aku tertawa – dan tak lama kemudian ia mengakhiri percakapan kami di telepon. Seringkali seperti itu, tapi  tetap saja seringkali juga aku yang meneleponnya duluan. Ya, ingin mendengar suaranya dan tahu keadaannya.

“Single, pinter nari. Bla.. bla.. bla.. Berkata satu kata berjuta makna” tulis seorang temanku saat berpikir menjual temannya sendiri di sebuah media sosial. Bendera perang dikibarkannya. Dan, berjuta makna?!

“Kalau mendengarkan saja cukup, kenapa harus bicara?” sebuah kalimat yang kuaminkan dengan keras saat menonton sebuah film di layar lebar di mall dekat kantor. See!

“Bikin kesel. Aku lirik aja. Kamu tahu kan lirikanku yang gimana” jelasku datar yang disambut bahakan tanda paham dari sahabatku, si Ratu Bacarita. Mungkin perbedaan kami ini menjadi salah satu faktor persahabatan 12 tahun tak henti.

Beberapa kejadian ‘diam’ akhirnya membuatku memikirkan ‘diam’ itu dalam diam. Mengungkapkannya dengan diam dalam tulisan ‘DIAM’.Yang suka, diam saja lah.
Yang tak suka, diam atau tidak diam akan kusambut dengan diam. Yang bertanya, jangan diam-diam.

Bukankah saling mendukung jika yang satu berbicara dan satunya diam mendengarkan?
Jika yang satu sangat suka berbicara, yang satunya diam menyeimbanginya.
Tidak bermaksud egois. Bukan tak ingin membagi cerita. Bukan itu.

Tidak seutuhnya, tapi dalam diam kutemukan kekuatanku. Aku tak membuang banyak energi. Lelah jika harus mengeluarkan perbendaharaan huruf yang sudah tersusun menjadi kata dan terangkai menjadi kalimat. Jika sampai beradu mulut, pasti lelahnya mengalahkan keluarga up-up. Beberapa set sit up, side up, push up, leg up, back up dan tak ketinggalan plank berdurasi 1 lagu.

Menikmati lawan bicara yang mencurahkan dengan deras aliran kata dari mulutnya, atau hanya menitik-nitikkannya dengan pasti. Tak luput, sekeliling lawan bicara yang bereaksi terhadap setiap pemilik kalimat. Aku menyukai prosesnya.

Dalam diam itu kudapatkan…
Ada yang dipikir secara matang, ada yang tidak. Kata-kata tak pernah bisa ditarik ulang.
Ada yang mencandain yang serius, ada yang menyeriusi yang becanda. Bisa kacau.
Ada yang terasa biasa, sangat membangun, sekedar menyayat hati, bahkan merobek jiwa. Pilihan, baik untuk yang menyampaikan maupun yang mendengar. Ya, pilihan.
Semacam kado. Ada yang dibungkus rapi dan indah, ada yang seadanya saja. Ada yang dikemas dalam plastik transparan, ada yang dibungkus kertas kado atau koran berlapis-lapis.
Ada yang hanya transit di hidung (aku menyebutnya begitu karena letaknya di tengah wajah – di antara telinga), masuk kiri keluar kanan. Ada yang seperti bola bekel, nge-per, ngga sempat masuk. Ada yang normal, input-proses-ouput. Malah, ada yang diendapkan di hati.

Yang setuju bahwa nama mempengaruhi kepribadian seseorang.
-Z33-
10.06.15 – 01:45am

-Z33-
Posted from WordPress for Android

Belajar ke ‘Toraja’ – Bag.1

Makassar. Jadi ceritanya, saya dan mami pergi karena ajakan Tante Tina. Pada kesempatan ini, ada kerabat beliau yang akan menikah. Bersama dengan Thomas, anak yang diasuh Tante Tina, kami berempat pergi ke desa asal mereka. Setahu saya Tante Tina itu berasal dari Toraja, jadi saya membayangkan akan pergi ke desa yang penuh dengan adat. Excited? Tentu saja!

Hari itu, Om Anto yang adalah suami Tante Tina tidak bisa mengantar kami sampai ke tempat tujuan karena ada kepentingan lain, maka setelah menempuh satu jam perjalanan dengan mobil dari rumah tibalah kami di Terminal Daya.

Naik transportasi umum keluar kota itu ada kesenangannya sendiri. Tentu saja saya menyukai duduk di samping jendela karena saya bisa merasakan angin, mencium bau selain bau kota, serta melihat alam dan sekitar dengan lebih jelas. Kali ini bis membuat saya sedikit tidak betah duduk, pantat saya rasanya rata dan panas. Wajar! 8 jam perjalanan dan ini bukan bus eksekutif!

Selamat datang di Messawa! Kira-kira begitu kalimat yang sepantasnya didapatkan pantat yang rata dan panas tadi begitu menjejakkan kaki di tanah.

Banyak hal baru yang saya pelajari dan alami. Menantang! Bidang yang saya sukai, komunikasi antarbudaya.

Ini beberapa hal yang saya catat di kertas saat itu:

Hari ke-1
21.07.08
Bagian Pertama

– Waktu pertama kali tiba, kami tidak langsung menuju rumah mempelai tapi ke rumah tantenya Thomas. Benar-benar membuatku teringat COP (Community Outreach Program) yang pernah saya ikuti 2 tahun lalu, para penduduk berkumpul dan berbahasa daerah yang sama sekali tidak saya mengerti. Jadi saat mereka berbahasa daerah, Tante Tina menerjemahkannya ke bahasa Indonesia. Saat COP, saya termasuk ‘penerjemah’ di grup. (COP akan saya bahas di postingan yang lain)
– Minum, ngga, minum, ngga… Minum deh! Penasaran! Rasanya ya seperti air putih, tapi agak lain. Disebabkan kayunya. Air minum yang disuguhkan warnanya pink tapi tetap bening. Jadi bisakah itu disebut air putih? Atau air pink?

Bagian Kedua
– Kami menginap di rumah mempelai wanita, kecuali Thomas. Dia tidur di keluarganya. Menyenangkan memang dia bisa bertemu orangtua dan saudara-saudaranya.
– Rumah penduduk adalah rumah panggung. Saat ada acara (seperti acara pernikahan yang akan kami hadiri), dinding-dinding rumah bagian tengah ke depan yang terbuat dari papan-papan kayu dilepas dan digunakan untuk lantai untuk para tamu di bawah rumah panggung.
– Saat kami datang rumah ini ramai karena banyak saudara mempelai yang datang. Pernikahannya bukan hari ini sih, belum.
– Mereka tidak makan lombok, jadi tidak ada pohon lombok.
– Malam ini yang saya temui, mereka masak anjing yang direbus dan kuahnya diminum. Kaget? Iya!
Makanan kebanyakan direbus. Waktu itu saya jadi berpikir tidak akan ada kolesterol dan tekanan darah tinggi disini. Mereka sehat. Bukan tentang anjingnya ya, tapi tentang makanan, lauk dan sayur yang direbus. #sayatidakmakananjing #sayasayanganjing
– Saya melihat seorang wanita muda sekitar usia 20 tahun dengan seorang anak dan suami yang usianya jauh lebih tua. Saya berpikir mungkin gadis-gadis disini menikah di usia muda dengan pria yang jauh lebih tua, sekitar usia 30 tahun. Calon mempelai yang kutemui tadi juga usianya sekitar 18 tahun.
– Mereka sedang membuat kue saat kami ada disana. Nama kue-kue yang dibuat itu: bangke, deppatori, dan kue cacing. Deppatori jadi favorit saya. Mereka bisa membuat kue sebanyak 25 blek kerupuk dalam 1 hari. Wow!
– Benar-benar desa. Waktu pertama kali mau masuk ke toiletnya, saya sangat berharap semoga WC-nya bukan ‘jumleng’ kaya di COP. Dan… Thanks God ngga!!!
Hmm, tapi dinding kamar mandinya tersusun dari papan-papan kayu yang tidak rapat. Ada banyak celah disana. Oke, aku mandi pakai sarung.
– Mempelai wanita punya adik cowok yang peduli padanya. Good!
Saat malam, semua orang berkumpul di ruang tamu. Semuanya memakai sarung tenun, buatan tangan. Sangat nyaman dan hangat. Kami dipinjami sarung itu. Berfoto bersama mereka sangat menyenangkan.

image

– Tidak ada sinyal. Kalau mau dapat sinyal, harus ke daerah rumah tantenya Thomas yang berdataran lebih tinggi dari rumah yang kami inapi. Susah banget.

Yang waktu itu baru tau kalau Messawa itu bukan Toraja.
Bersambung.
-Z33-
28.02.15 – 22:33pm

-Z33-
Posted from WordPress for Android

Stelma

Ya, Stelma untuk Stella Maris.
Hari kedua saat menjaga yang saya kasihi di ICU, hari ke lima tinggal di rumah sakit.
Baterai telepon genggam habis. Powerbank itu juga sudah habis tenaganya.
Berpindah dari ruang tunggu ke kamar inap orang lain demi mengisi daya telepon itu.
(Tidak usah repot membuat pertanyaan, saya enggan memberi jawabannya.)
Membawa telepon genggam, dua pengisi daya, benda yang disebut powerbank itu, buku (tidak) harian, bolpoin biru, mami, dan niat menuangkan bahasa verbal saya.
Sambil menunggu pengisian daya tersebut penuh, saya mulai mengotori dengan indah buku bercetakkan angka 365 di covernya.
Berpikir. Menulis. Sesekali melihat keluar pintu. Sesekali melihat orang di dalam ruangan. Sesekali mengamati ruangan. Sesekali menjawab pertanyaan orang asing yang duduk tidak jauh di depan saya. Sesekali membolak-balik halaman buku. Banyak kali membaca tulisan tangan saya sendiri.
Hasilnya, beberapa judul dan isinya terabadikan di buku itu. Isi lembaran-lembaran itulah yang menghiasi tulisan saya dengan ‘nama keluarga’… Stelma x.11

Yang berpikir seandainya saja beberapa waktu menunggu yang saya punya bisa seproduktif saat menunggu malam itu, menginjeksikan susunan-susunan huruf dari yang disangga oleh leher ini pada lembaran pendamping hitam atau melalui jari-jari yang menari di atas puluhan panggung mini di depan layar yang bercahaya.
Sambil menyeruput susu coklat,
-Z33-
23 Des 2014. 02:22 am

Bertanya – Stelma 6.11

  1. Kamu punya merek kesukaan?
  2. Kalau kamu balik nanya “Merek apa dulu nih? Baju? Tas? Sepatu? Parfum? Atau apa?”, merk apa aja deh, yang pertama kali muncul di pikiranmu waktu baca pertanyaan no.1, itulah merk kesukaanmu
  3. Apa namanya?
  4. Kenapa kamu menyukainya?
  5. Kapan pertama kali membelinya?
  6. Apa yang membedakan merek itu dengan merek lainnya?
  7. Apakah kamu mengoleksinya?
  8. Jika ya, berapa banyak koleksimu?
  9. Kapan biasanya kamu membeli merek itu?
  10. Apa bentuk produknya?
  11. Apakah produknya mudah didapatkan?
  12. Dimana biasanya kamu mendapatkan produknya?
  13. Darimana kamu tahu merek itu?
  14. Apakah ada yang pernah menghadiahimu merek itu?
  15. Apakah kamu pernah menghadiahi seseorang merek itu?
  16. Apa arti merek buat kamu?
  17. Apakah kamu pernah tidak mau pakai produk yang bukan merek itu?
  18. Jika ya, kenapa?
  19. Saat pergi ke pusat perbelanjaan, apakah kamu selalu singgah ke counter merek itu?
  20. Berapa kira-kira jumlah rupiah yang sudah kamu belanjakan untuk merek itu?
  21. Merek ini sedang diskon sampai 50%. Kamu sedang tidak butuh produknya. Produknya menarik hati. Kamu punya uang. Apakah kamu membelinya?
  22. Merek ini sedang diskon sampai 50%. Kamu sedang tidak butuh produknya. Produknya menarik hati. Kamu tidak punya uang. Apakah kamu membelinya?
  23. Apakah ada temanmu yang juga penyuka merek tertentu?
  24. Samakah mereknya dengan yang kamu sukai?
  25. Kamu brandminded?
  26. Setelah membeli merek itu, sesampai di rumah apakah kamu mengeluarkan produk itu dan memandang-mandanginya?
  27. Jika belum dipakai untuk beberapa saat, apa tetap dipandang-pandangi?
  28. Apa jenis produk yang kamu sukai dari merek tersebut?
  29. Apa pendapatmu tentang orang yang brandminded dan yang tidak?

Yang sedang tidak ingin mengurutkan, mengelompokkan pertanyaan dan membaca lagi tulisannya.
Yang berpikir postingannya kali ini seperti kuesioner suatu merek dan berhubungan dengan skripsi, dan itu menyenangkan.

-Z33-

05.08.2014
20.12.2014 – 01:39

Kasih di Atas Meja — stelma 4.11

05.08.14 – Malam hari. RS. Stella Maris

Tidak banyak yang dilakukan. Dipakai untuk menulis. Berpikir topik apa. Hmm, Kasih di Atas Meja. Judul dan isinya sudah ada disini nih *nunjuknunjukjidat* sejak jaman Adam Hawa tapi belum pernah menuliskannya.

Saya senang melihat meja kerja saya rapi. Agak kesal jika ada orang yang menitipkan barang atau menaruh barang di atas meja kerja saya tanpa ada info apa-apa apalagi kalau meninggalkannya begitu saja dengan tidak rapi.
Menemukan sesuatu untuk saya di atas meja itu salah satu hal menyenangkan. Biasanya sih, makanan, hahaha. Kadang, di awal hari, sudah ada yang menaruhnya di atas meja. Atau di sela-sela kerja, saat meninggalkan meja kerja kemudian saat kembali, tiba-tiba ada sesuatu di atas meja. Itu wow banget, umm, semacam sulap!
Sebaliknya, menaruh sesuatu di atas meja kerja teman itu menyenangkannya bisa melebihi saat mendapati sesuatu di atas meja kerja sendiri. Ketika berulangkali diberi dan sebaliknya, saya menamainya Kasih di Atas Meja.

Yang saat menulis “Kasih di Atas Meja” teringat akan “tabur tuai” dan hanya sahabatnya yang tau maksudnya.
– Z33 –

– Lebih berbahagia memberi daripada menerima –
Kis 20:35

Kasih di Atas MejaIMG_20140305_145811

Hannah –pt.1 – Stelma 2.11

She wept

She was downhearted

She said “He is mean more to me than my …. …. ….”

In her bitterness of soul, she wept. Not much

She prayed to the Lord

And she made a vow “Dear Lord, please … …. ….”

A vow that she thought she has to make an exchange about it

It wasn’t like that at all but humbleness and submission

She kept praying on her heart

She poured out her soul to the Lord

She who feels like Hannah and asks Lord to remember her

-Zee-

05.08.2014 – separated with him by a wall. 02:17pm

Copied and edited from 1 Samuel 1

-Z33-

Posted from WordPress for Android