“Does Love Need A Reason?”

Cucu : “Oma, aku mau bilang sesuatu.”
Oma : “Ya?”
Cucu : “Hmm, aku cuma mau bilang kalau aku tuh sayang sekali sama oma.”
Oma : “Puji Tuhaaan. Kenapa bisa begitu? Hahaha..”
Cucu : “Ya ngga tau, Oma. Oma pernah dengar ‘Does love need a reason?’ ?”
Oma : “Apaa?”
Oma : “Apa cinta itu butuh alasan? Ngga butuh kan?”
Oma : “Ya ngga sih.”
Cucu : “Sama kan sama cintanya Tuhan Yesus yang sayang sama orang-orang tanpa butuh alasan?”
Oma : “Ya itu pasti.”
Cucu : “Aku itu sayang banget sama Oma sampai kadang aku takut kehilangan Oma”
Oma : “Puji Tuhan. Tapi semua harus pergi. Opa juga kan sudah pergi”
Cucu : “Iya aku tahu semua ada masanya, tapi…”
Oma : “Oma sudah berdoa, minta sama Tuhan supaya…bla..bla..bla…”
bla..bla..bla…”
Cucu : “Iya Oma. Aku pingin oma tau kalau aku sayang sama oma. Aku hanya mengungkapkan.”

Si cucu yang menelepon Omanya dua jam lalu,
-Z33-
Fri, 28.06.13 @11.50 pm

PS.
Happy Anniversary, Papi Mami!
Happy Birthday, Mami!

Sebulan Sekali

Berbeda dengan teman-temanku, aku jarang banget nonton bioskop sampai-sampai kadang aku ngga ingat film apa yang terakhir kutonton di bioskop dan aku sering menolak ajakan nonton teman-temanku.
Dulu, saat SD sampai SMP aku sering menonton bioskop berdua dengan papi. Chow Yun Fat, Andy Lau, Van Damme, Bruce Willis dan sederet pemain The Expandables yang tiket bioskopnya pasti dibeli oleh papi. Aku masih ingat, saat ada adegan romantis di filmnya, papi pasti akan menutup mataku dengan tangannya dan akan melepasnya setelah adegannya berakhir. “The Replacement Killers” adalah satu judul yang masih kuingat tapi ceritanya ngga ingat sama sekali. Terakhir aku nonton “Shaolin” bersamanya.
Menonton bioskop saat SMA biasanya kulakukan bersama teman-teman di hari saat selesai menerima raport.
Di awal kuliah aku berhenti menonton. Tidak memungkiri bahwa ada yang menganggap alasanku aneh saat aku menolak ajakan nonton mereka. Saat itu ada larangan bagi pelayan kreatif untuk menonton bioskop, mewarnai rambut dan jalan berdua saja dengan lawan jenis. Ya mungkin itu terbawa sampai usia kerja ini walaupun larangan itu sudah tidak ada lagi sejak beberapa waktu yang lama.
Aku menonton film bergenre drama di bulan pertama tahun ini, antologi di bulan selanjutnya. Lalu aku berpikir dan memutuskan, baiklah, aku akan menonton untuk refresh, sebulan sekali. Setengah tahun ini target tercapai, tiket “Habibie dan Ainun”, “Rectoverso”, “Oz: The Great and Powerful”, “Croods”, “Iron Man 3” (yang aku sendiri gak jelas yang ke-1 dan ke-2nya sudah kutonton atau belum), dan “Man of Steel” tertempel di agendaku.
Malam tadi, aku baru saja menonton sebuah karya anak bangsa bergenre drama. Sebenarnya aku tidak tertarik untuk memilihnya karena aku berniat nonton “Leher Angsa” sendirian. Tapi beberapa menit sebelum jam kantor berakhir, teman sekantorku menanyai kegiatanku selanjutnya dan dia mau ikut aku sebelum dia melanjutkan Briefing Film Festival jam 7 malam di kantor. Dia bilang terserah film apa aja, setelah dia bilang film Indonesia “Refrain” itu kelihatannya bagus. Saat “Leher Angsa” kusebutkan, wajahnya tidak tampak tertarik walaupun dia sudah bilang terserah film apa aja dan pastinya akan setuju aja duduk di sebelahku, secara dia cuma mengisi waktu luangnya menunggu jam Briefing itu.

Aku menyukai film Indonesia. Tentu saja film Indonesia yang kutonton bukan genre horror dengan judul-judulnya yang norak itu. Seperti halnya film berbahasa Inggris, ada hal-hal yang tidak dapat disampaikan selain dengan bahasa Inggris tersebut, begitu pula dengan bahasa Indonesia. Aku ingin menjadi bagian dari bangkitnya perfilman Indonesia walaupun dalam bentuk 1 tiket bioskop. Ngomong-ngomong tentang bioskop, tahu ngga kalau kata ‘bioskop’ diambil dari bahasa Belanda? Itu dari kata ‘bioscoop’.

Belajar. Yang saat sampai di meja penjual tiket, bilang pada temannya “Kita nonton Refrain aja kalau gitu, kan Rectoverso dan Croods aku yang pilih”,
-Z33-
Thu, 27 June 2013 @01.52am