Nama-nama Itu

Dini hari tadi.
Aku membuka buku agendaku. Kumulai dari bagian depan. Banyak sticky notes kutempel disana. Aku membaca selembar sticky notes di bulan Februari. Isinya pokok doa. Nama seseorang tertulis disana. Di baris paling atas. Aku tersadar. Aku tidak pernah mendoakannya lagi beberapa bulan ini. Merasa bersalah. Haruskah merasa bersalah? Entahlah, itu yang kurasakan. Dia tidak tahu aku mendoakannya. Dia juga tidak tahu juga kalau aku tidak mendoakannya. Tuhan yang tahu. Aku merasa egois, sedikit.

Satu nama lain terlintas di pikiranku. Ya, aku harus menghubunginya. Dia pasti tahu.Aku membuka sebuah aplikasi media sosial. Mencari nama yang terlintas tadi. Mengiriminya pesan. 2 kalimat. Sapaan untuk nama yang terlintas dan pertanyaan tentang kabar dia yang namanya tertulis. Waktu menunjukkan pukul 00:44.

Pagi hari tadi.
Pesanku dibalas. Aku jadi tahu kabar nama yang kutulis. Aku dan nama yang terlintas saling bertukar pesan. Sebuah harapan kuangkat. Semoga aku bisa bertemu dengan nama yang kutulis. Membayangkan kira-kira bagaimana saat aku bertemunya. Nanti.

Menjelang siang tadi.
Aku kembali membuka buku agendaku. Nama yang tertulis itu ada di lembaran sticky notes lain. Di bulan-bulan yang lain. Kembali tersadar. Ada sebuah kebiasaan yang hilang. Aku menyesalinya.

Di lembaran sticky notes yang berbeda. Masih di bulan Februari. Pertanyaan dan jawaban. Hal yang kusukai. Hal yang kulakukan. Hal yang melekat di hidupku. Aku membacanya. Ada tulisan. Ada gambar sebagai pelengkap tulisannya.
Why do you dance?
1. To express my feelings.
2. To deliver messages.
3. To give thanks to my FATHER.
4. To share my love.

Setelah membaca, aku teringat seseorang yang lain.
Hari itu. Mungkin hampir 10 tahun yang lalu. Aku dan beberapa temanku ke kosnya. Dia sengaja dikoskan di dekat gereja, supaya kami bisa lebih mudah dan sering menemuinya. Aku dan dia tercatat sebagai volunteer di bidang pelayanan yang sama. Dia masih muda. Usianya tidak terpaut jauh denganku. Dia sedang sakit. Ada sesuatu yang asing dan jahat di perutnya. Dia hanya berbaring di tempat tidur. Mamanya menemani. Dia meminta satu hal. Mengoyak hati. Dia memintaku menari untuknya saat itu. Aku mengiyakannya, tentu saja. Tarianku untuk dia, pertama kalinya, sekaligus menjadi yang terakhir. Dia kembali padaNya.

Aku mengambil sticky notes yang masih kosong. Menulis ulang serangkaian ‘why do you dance?’. Menempelkannya di dinding kamarku.

Siang hari tadi.
Memulai menulis materi blog.
Tentang dia yang namanya tertulis. Aku sudah bertekad. Aku ingin mengulang kebiasaan yang hilang itu. Sampai Ia menjawab doaku. Sampai aku bertemunya.

Menjelang sore.
Masih berkutat dengan tulisan.

Rahel, kau yang memulai permintaan itu. Aku tak akan menolak permintaan yang sama, jika kesempatan itu datang lagi. Jika aku bisa membuat yang terbaring sakit di tempat tidur menjadi tersenyum, bahagia dan membuatnya lupa akan sakitnya, walau sesaat… akan kulakukan. Karena aku tahu, hal ini pasti, hati yang gembira adalah obat. Begitu tertulis di bukuNya.

Akhirnya teringat salah satu sebutan lain yang baru saja diberikan padaku, kayu klengkeng. Setelah beberapa sebutan lain ‘bernada’ sama. Sebutan itu ada tentunya karena pengalaman yang dialami pemberi sebutan. Setidaknya, mereka memperhatikanku.

Yang 2 hari ini, atau mungkin 4 hari ini, punya cukup waktu untuk berhenti, beristirahat, dan berpikir.
Untuk mengalami arti nama depan yang diberikan maminya padanya.
Yang berpikir butuh sedikit waktu seperti ini, rutin.
Untuk lebih sadar dan peka lagi terhadap apa yang terjadi dalam kehidupannya.
Yang 2 hari ini menghabiskan banyak waktunya dalam kamar tidur, diatas tempat tidur, tapi bukan untuk tidur.

-Z33-
12.10.15 – 04.10pm

-Z33-
Posted from WordPress for Android