Pendet

Berawal dari keinginan saya belajar tari tradisional di tahun 2013, maka saya membuat target untuk mengambil les tari tradisional di awal tahun 2014. Saya googling tempat les tari tradisional dan berakhir dengan bertanya pada pengajar les hiphop saya dulu. Saya mendapatkan kontak pengajar tradisional – si mbak itu – darinya yang kemudian saya coba hubungi.
Saya menelepon si mbak, bertanya seputar sanggar tradisional yang dimiliki dan bilang mau datang kesana untuk mendaftar. Diiyakannya. Saat saya konfirmasi untuk kedatangan saya kesana, tidak ada respon lagi darinya. Saya telepon ngga dibalas, sms juga bernasib sama. Saya jadi kesal. Akhirnya, target saya tidak tercapai di tahun 2014. Yah, sepertinya saya kurang gigih juga dalam berjuang mencari tempat les.

Tahun ini, saya belajar tari tradisional (akhirnya!!!). Tari Pendet, sebuah tari tradisional dari Bali. Mudah bagi saya? Tentu saja… tidak! Saya sama sekali tidak pernah belajar tari tradisional sebelumnya. Saya tidak terbiasa dengan musiknya, postur badannya, cara mengajar pengajarnya, dan semuanya… tidak ada yang membuat saya terbiasa dan nyaman.
Saat latihan-latihan, beberapa kali saya hampir menangis. Saya ngga bisa hafal tariannya dengan baik. Salah terus. Saya kesal pada diri saya sendiri karena ngga hafal-hafal. Bagian-bagian musiknya menurut saya sama, susah dihafal, ngga ada liriknya. Beberapa gerakannya juga begitu, kanan dan kiri sama. Ada gerakan pokok di setiap set. Harus menghafal istilah-istilah gerakan dalam bahasa daerah. Rasanya ada beban yang berat ditimpakan di dada (read: nyesek) saat melihat ekspresi salah satu pengajarnya agak kesal. Aaagh…! Lebih tertekan lagi saat bertanya pada pengajarnya dan dijawab biasanya materi ini diselesaikan dalam waktu 2 bulan. Saat ini, saya sudah masuk bulan ketiga!

Setiap kali hampir menangis itu, ingin rasanya kelas hari itu disudahi saja dan segera pulang (tapi kelas selanjutnya pasti tetap datang). Tapi di sisi lain, diri saya memaksa untuk bagaimanapun caranya harus bisa menyelesaikan tarian ini. Pantang berhenti, malu sama diri sendiri.

Secara subyektif, tari tradisional kurang diminati di jaman sekarang ini. Lebih banyak yang berminat pada hiphop. Saya memilih untuk belajar tari tradisional salah satunya diawali dengan pikiran “Masak orang Surabaya ngga bisa nari Remo?”.

Yang saya pelajari saat belajar tari tradisional ini banyak sekali, diantaranya: kesabaran, pengendalian diri, melatih kekuatan kaki, semangat untuk terus belajar hal yang baru -yang kadang dianggap susah bahkan tidak disukai-, dll.

Nonton tari pendet itu asyik banget. Feminin, lembut tapi ada ketegasan disana, dan gerakannya mengalir tanpa henti. Proses latihannya yang… Maaak! Bagaimana membuat otak, kepala, mata, tangan, jari, bahu, dada, pinggul, kaki, ekspresi, power dan perasaan bisa bekerjasama dalam waktu sekitar 8 – 9 menit.

Yang mencintai budaya Indonesia
-Z33-
19.05.15 – 10:59 pm

-Z33-
Posted from WordPress for Android

Nama-nama Itu

Dini hari tadi.
Aku membuka buku agendaku. Kumulai dari bagian depan. Banyak sticky notes kutempel disana. Aku membaca selembar sticky notes di bulan Februari. Isinya pokok doa. Nama seseorang tertulis disana. Di baris paling atas. Aku tersadar. Aku tidak pernah mendoakannya lagi beberapa bulan ini. Merasa bersalah. Haruskah merasa bersalah? Entahlah, itu yang kurasakan. Dia tidak tahu aku mendoakannya. Dia juga tidak tahu juga kalau aku tidak mendoakannya. Tuhan yang tahu. Aku merasa egois, sedikit.

Satu nama lain terlintas di pikiranku. Ya, aku harus menghubunginya. Dia pasti tahu.Aku membuka sebuah aplikasi media sosial. Mencari nama yang terlintas tadi. Mengiriminya pesan. 2 kalimat. Sapaan untuk nama yang terlintas dan pertanyaan tentang kabar dia yang namanya tertulis. Waktu menunjukkan pukul 00:44.

Pagi hari tadi.
Pesanku dibalas. Aku jadi tahu kabar nama yang kutulis. Aku dan nama yang terlintas saling bertukar pesan. Sebuah harapan kuangkat. Semoga aku bisa bertemu dengan nama yang kutulis. Membayangkan kira-kira bagaimana saat aku bertemunya. Nanti.

Menjelang siang tadi.
Aku kembali membuka buku agendaku. Nama yang tertulis itu ada di lembaran sticky notes lain. Di bulan-bulan yang lain. Kembali tersadar. Ada sebuah kebiasaan yang hilang. Aku menyesalinya.

Di lembaran sticky notes yang berbeda. Masih di bulan Februari. Pertanyaan dan jawaban. Hal yang kusukai. Hal yang kulakukan. Hal yang melekat di hidupku. Aku membacanya. Ada tulisan. Ada gambar sebagai pelengkap tulisannya.
Why do you dance?
1. To express my feelings.
2. To deliver messages.
3. To give thanks to my FATHER.
4. To share my love.

Setelah membaca, aku teringat seseorang yang lain.
Hari itu. Mungkin hampir 10 tahun yang lalu. Aku dan beberapa temanku ke kosnya. Dia sengaja dikoskan di dekat gereja, supaya kami bisa lebih mudah dan sering menemuinya. Aku dan dia tercatat sebagai volunteer di bidang pelayanan yang sama. Dia masih muda. Usianya tidak terpaut jauh denganku. Dia sedang sakit. Ada sesuatu yang asing dan jahat di perutnya. Dia hanya berbaring di tempat tidur. Mamanya menemani. Dia meminta satu hal. Mengoyak hati. Dia memintaku menari untuknya saat itu. Aku mengiyakannya, tentu saja. Tarianku untuk dia, pertama kalinya, sekaligus menjadi yang terakhir. Dia kembali padaNya.

Aku mengambil sticky notes yang masih kosong. Menulis ulang serangkaian ‘why do you dance?’. Menempelkannya di dinding kamarku.

Siang hari tadi.
Memulai menulis materi blog.
Tentang dia yang namanya tertulis. Aku sudah bertekad. Aku ingin mengulang kebiasaan yang hilang itu. Sampai Ia menjawab doaku. Sampai aku bertemunya.

Menjelang sore.
Masih berkutat dengan tulisan.

Rahel, kau yang memulai permintaan itu. Aku tak akan menolak permintaan yang sama, jika kesempatan itu datang lagi. Jika aku bisa membuat yang terbaring sakit di tempat tidur menjadi tersenyum, bahagia dan membuatnya lupa akan sakitnya, walau sesaat… akan kulakukan. Karena aku tahu, hal ini pasti, hati yang gembira adalah obat. Begitu tertulis di bukuNya.

Akhirnya teringat salah satu sebutan lain yang baru saja diberikan padaku, kayu klengkeng. Setelah beberapa sebutan lain ‘bernada’ sama. Sebutan itu ada tentunya karena pengalaman yang dialami pemberi sebutan. Setidaknya, mereka memperhatikanku.

Yang 2 hari ini, atau mungkin 4 hari ini, punya cukup waktu untuk berhenti, beristirahat, dan berpikir.
Untuk mengalami arti nama depan yang diberikan maminya padanya.
Yang berpikir butuh sedikit waktu seperti ini, rutin.
Untuk lebih sadar dan peka lagi terhadap apa yang terjadi dalam kehidupannya.
Yang 2 hari ini menghabiskan banyak waktunya dalam kamar tidur, diatas tempat tidur, tapi bukan untuk tidur.

-Z33-
12.10.15 – 04.10pm

-Z33-
Posted from WordPress for Android

Cerita Kecil

SURABAYA

  • Batal berangkat liburan tanggal 29 Desember 2014, membuat aku dan Felis sahabatku berangkat tanggal 01 Januari 2015 dengan tujuan Jawa Tengah: Semarang, Solo dan Jogja.
  • Aku sudah siap dijemput di rumah saat subuh tapi Felis belum datang juga. Kuputuskan untuk ke Alfamart terdekat untuk membeli snack dan mengambil uang tunai di situ. Baru tahu kalau maksimal pengambilan tunai di Alfamart itu 500ribu.
  • Yang ditunggu pun datang bersama taksi yang akan membawa kami ke Stasiun Pasar Turi. Saat di taksi, aku memastikan Felis membawa bukti pembelian tiket.
  • Kami akan naik Kereta Maharani jurusan Surabaya – Semarang pukul 06.00. Agak deg-degan juga karena tertulis di bukti pembelian tiket, menukarkan tiket 1 jam sebelum keberangkatan yang berarti jam 05.00. Ini pertama kalinya bagiku menggunakan tiket kereta yang dibeli di Alfamart, jadi wajar kalau deg-degan takut terlambat dan tidak bisa menggunakan tiketnya.
  • Sopir taksi pun saya minta untuk lewat di pasar saja, masih subuh, tidak ramai, mengingat lebih dekat ke jalan utama daripada harus memutar sampai daerah pelabuhan Tanjung Perak.
    Tidak tahu bagaimana, spion taksi menabrak besi tenda yang terpasang di tengah jalan yang dipakai warga sekitar untuk merayakan tahun baru semalam. Felis bertanya kondisi spionnya yang dijawab dengan nada kurang baik menurutku oleh sopirnya “Ya spion saya mbak yang kena”. Mendengar jawabannya, saya jadi agak kesal karena itu tiang juga dari tadi di situ, ngga gerak, penerangan jalan juga ada, jalan di sebelah kiri juga masih muat, ngapain mepet sampai nabrak tuh tiang… tapi aku diam, sudahlah.
  • Jalan beberapa meter, bapak sopir ijin turun untuk memperbaiki letak spionnya.
    Melewati perempatan pasar, si sopir taksi mengeluh atas pilihanku untuk mengambil rute pasar karena ada satu mobil ditinggal loading barang, berlawanan arah, di jalur keluar dari pasar… tapi aku diam, sudahlah.
  • Saat sudah berada di jalan utama, aku memutuskan untuk menarik nafas panjang dan tersenyum “Sudahlah. I won’t let it ruin my day. Menjalani hari itu pilihan. Mau dibuat senang atau kesal.”
  • Biaya taksi 44.000 ditambah biaya masuk 4.000. Saya menyodorkan 50.000, tak lupa mengucapkan terima kasih atas jasa yang dijualnya sekaligus pelajaran yang saya beli.
  • Bersemangat sekali saat menginjakkan kaki di stasiun. Kami langsung menuju ke loket tiket. Menyodorkan bukti pembelian tiket untuk dicetakkan tiket aslinya. KTP kami keluarkan, ternyata tidak diperiksa. Saat membaca tiket aslinya, ada biaya reduksi sebesar Rp.7500 karena membeli di channel mereka, alfamart. Dari 90.000 ke 82.500 per tiket.
  • Setelah selesai menukarkan tiket, kami duduk. Felis ragu apakah menunggu di ruangan itu. Setahu dia, seharusnya menunggu di gedung sebelah – berdasarkan pengalamannya waktu itu. Saya bilang, tahun lalu terakhir waktu mengantar mami naik kereta naiknya dari gedung ini. Dia masih bilang, waktu itu di gedung sebelah. Saya tanya ‘waktu itu’ itu kapan?. SMP jawabnya, which is belasan tahun lalu. Eaaa.. hahaha
  • Daripada menunggu dengan tidak pasti, saya menuju ke deretan orang yang baru saja mengantri untuk masuk naik kereta dan bertanya pada petugasnya. Ok, ini antrian untuk masuk ke kereta yang akan kami tumpangi. Dari jauh saya memberi kode pada Felis untuk segera mengantri bersama saya.
  • Saya itu bermasalah dengan antrian. Maksudnya, kalau ada yang menyerobot atau tiba-tiba dengan jiwa wirausahanya yang kreatif membuat jalur antrian jadi “buka cabang”…ooh itu masalah buat saya. Dan taraaa… ada mas gendut berani buka cabang pas di sebelah kanan saya. Salah satu iklan susu di tv langsung playing on my mind dan “Ngantri itu ke belakang, bukan ke samping” jadi kalimat sarapan buat dia.
  • Sekali lagi, kami menyiapkan tiket dan KTP, menyusunnya sesuai nama untuk kemudian diperiksa oleh petugas. Dengan menyusunnya sesuai nama, kerja petugas jadi lebih mudah. Bayangkan saja jika yang berangkat rombongan berisi 7 orang dan tiketnya tidak dipasangkan dengan KTPnya, petugasnya akan kewalahan.
  • Setelah melewati petugas, kami mencari gerbong kami. Begitu naik, kami langsung “Waahhh…”. Senang karena ini perjalanan bersama kami naik kereta untuk pertama kalinya dan keretanya bersih dan dingin.
  • Wah, harus difoto nih trus dikirimin ke seorang sahabat kami yang lain yang tidak mau ikut dengan alasan tidak mau naik kereta ekonomi. Menurutnya kereta ekonomi itu sesak, banyak orang dan bau keringat.
    Hey, tentu saja saya sudah mengumpulkan informasi tentang kereta ini sebelumnya dari orang yang sudah sering naik kereta ini dan informasinya saya dapatkan dari Mbak Rury yang nantinya akan menjemput kami di Semarang dan menjadi teman perjalanan kami saat di Jogjakarta.

2015101053016

  • Gerbong masih sepi, kami turun untuk berfotoria kemudian naik lagi saat sudah puas. Di dinding kereta disediakan stop kontak yang pastinya sudah menjadi kebutuhan primer di masa ini bukan?

 

2015101053034

2015101054526n

BELAJAR KE ‘TORAJA’ – BAG.2

Hari ke -2

22.07.08

 

Bagian Pertama

  • Bangun pagi banget. Semalem mimpi indah. Akankah menjadi kenyataan? Haha..
  • Ok, udaranya dingin. Pagi ini cuma cuci muka dan gosok gigi, lalu minum teh. Aku berangkat dengan Thomas untuk jalan-jalan, outbond gitu. Pakai celana pendek hitam, kaos hitam bergambar starbucks hadiah dari sahabat, jacket putih pemberian mama’ani, sepatu keds biru yang kupinjam dari sepupuku (liburan kali ini ngga bawa keds dari suroboyo), slayer hitam bunga-bunga dan syal hijau milik oma, kacamata, tas ransel serta perbekalan.
  • Tujuan pertama, rumah tante Thomas.
    Tujuan kedua, jembatan gantung.
    Tujuan ketiga, sungai.
    Tujuan keempat, sawah dan kerbau.
    Tujuan kelima, Sekolah Dasar.

 

  • Tentang Rumah Tante Thomas.
    Dari terasnya, aku bisa melihat pemandangan yang sangat indah.

    DSC00787

Gunung, sungai, dan sawah. Pemandangan ini seperti gambar kita saat SD kan?
Matahari dan burung-burungnya, absen.

 

  • Tentang Jembatan Gantung.
    DSC00797

Menyenangkan berada di atas jembatan ini!

Saat proses pembangunan, jembatan itu ambruk sehingga para tukangnya jatuh ke sungai. Patah tulang, tapi untungnya tidak ada korban jiwa. Begitu informasi yang kudapat.

 

  • Tentang sungai.

    Secara umum, sungainya bersih dari sampah plastik, tapi ngga luput dari ‘sampah’ manusia. Mungkin ada beberapa aja yang buang ‘kotoran’ di sungai (mungkin ga punya toilet kali ya) karena tadi pagi aku ngeliat kotorannya *eeuuwww…*.

    Oya, seorang teman Thomas menyusul dan bergabung dengan kami. Mereka senang difoto, apalagi saat aku pinjami kacamata. Lihat saja gaya mereka…

    DSC00822 DSC00810
    Thomas

 DSC00821 

DSC00824
Teman Thomas (Aku lupa namanya, dan tak mencatatnya)

 DSC00804Teman Thomas juga :p

DSC00816  DSC00818

Thomas dan teman-temannya

 

 

Bersambung.

Yang mencintai desa

-Z33-

11.05.15 – 03:29 pm

 

DIAM

“Karena aku ngga pingin kaya kamu. Kamu itu terlalu diam”, kata seorang temanku tiba-tiba membekukan suasana yang beberapa menit sebelumnya bercanda denganku. Seorang teman yang ngga kenal dekat, pastinya.

“Ayo dong, kamu yang ngomong. Masak dari tadi Oma terus. Oma bicaranya 90%, kamu 10%” desak omaku – aku tertawa – dan tak lama kemudian ia mengakhiri percakapan kami di telepon. Seringkali seperti itu, tapi  tetap saja seringkali juga aku yang meneleponnya duluan. Ya, ingin mendengar suaranya dan tahu keadaannya.

“Single, pinter nari. Bla.. bla.. bla.. Berkata satu kata berjuta makna” tulis seorang temanku saat berpikir menjual temannya sendiri di sebuah media sosial. Bendera perang dikibarkannya. Dan, berjuta makna?!

“Kalau mendengarkan saja cukup, kenapa harus bicara?” sebuah kalimat yang kuaminkan dengan keras saat menonton sebuah film di layar lebar di mall dekat kantor. See!

“Bikin kesel. Aku lirik aja. Kamu tahu kan lirikanku yang gimana” jelasku datar yang disambut bahakan tanda paham dari sahabatku, si Ratu Bacarita. Mungkin perbedaan kami ini menjadi salah satu faktor persahabatan 12 tahun tak henti.

Beberapa kejadian ‘diam’ akhirnya membuatku memikirkan ‘diam’ itu dalam diam. Mengungkapkannya dengan diam dalam tulisan ‘DIAM’.Yang suka, diam saja lah.
Yang tak suka, diam atau tidak diam akan kusambut dengan diam. Yang bertanya, jangan diam-diam.

Bukankah saling mendukung jika yang satu berbicara dan satunya diam mendengarkan?
Jika yang satu sangat suka berbicara, yang satunya diam menyeimbanginya.
Tidak bermaksud egois. Bukan tak ingin membagi cerita. Bukan itu.

Tidak seutuhnya, tapi dalam diam kutemukan kekuatanku. Aku tak membuang banyak energi. Lelah jika harus mengeluarkan perbendaharaan huruf yang sudah tersusun menjadi kata dan terangkai menjadi kalimat. Jika sampai beradu mulut, pasti lelahnya mengalahkan keluarga up-up. Beberapa set sit up, side up, push up, leg up, back up dan tak ketinggalan plank berdurasi 1 lagu.

Menikmati lawan bicara yang mencurahkan dengan deras aliran kata dari mulutnya, atau hanya menitik-nitikkannya dengan pasti. Tak luput, sekeliling lawan bicara yang bereaksi terhadap setiap pemilik kalimat. Aku menyukai prosesnya.

Dalam diam itu kudapatkan…
Ada yang dipikir secara matang, ada yang tidak. Kata-kata tak pernah bisa ditarik ulang.
Ada yang mencandain yang serius, ada yang menyeriusi yang becanda. Bisa kacau.
Ada yang terasa biasa, sangat membangun, sekedar menyayat hati, bahkan merobek jiwa. Pilihan, baik untuk yang menyampaikan maupun yang mendengar. Ya, pilihan.
Semacam kado. Ada yang dibungkus rapi dan indah, ada yang seadanya saja. Ada yang dikemas dalam plastik transparan, ada yang dibungkus kertas kado atau koran berlapis-lapis.
Ada yang hanya transit di hidung (aku menyebutnya begitu karena letaknya di tengah wajah – di antara telinga), masuk kiri keluar kanan. Ada yang seperti bola bekel, nge-per, ngga sempat masuk. Ada yang normal, input-proses-ouput. Malah, ada yang diendapkan di hati.

Yang setuju bahwa nama mempengaruhi kepribadian seseorang.
-Z33-
10.06.15 – 01:45am

-Z33-
Posted from WordPress for Android

Senyuman

Pernah senyum ke orang tapi salah orang? Atau pernah senyum tapi dicuekin? Entah karena yang disenyumin ngga ngenalin kalau itu kita atau ngga kelihatan kalau lagi disenyumin karena matanya minus. Atau sebaliknya, kita disenyumin tapi kita cuekin?

Selama ini yang saya tahu tentang senyuman … senyum manis, senyum kecut, senyum lebar, senyum sinis, senyum tipis, senyum-senyum sendiri, senyum itu menular, senyum aja kan gratis, tetap tersenyum, senyum genit, senyum Joel Osteen, senyum monyong ala bebek, dan senyum lain-lain. Btw, yang kuliah di Petra, pasti tahu… Om Senyum.

Senyuman ternyata bisa memberkati “Senyumanmu memberkatiku”, begitu kata seorang temanku pada temannya.

Beberapa waktu lalu saya bertemu seseorang, yang paling saya ingat itu adalah senyumannya. Sangat sedikit orang yang senyumannya mampu menarik perhatian saya. Tiap bertemu orang itu, yang saya nanti adalah senyumannya. Hmm, deretan gigi yang rapi, senyum yang lebar, ramah dan , mata yang antusias. Sudah terbayang kan senyumannya? Man!

Senyuman itu sesuatu yang dimiliki seseorang di wajahnya, yang meluap dari hatinya dan terbaca di matanya. Sebuah senyuman bisa dimiliki semua orang, bisa juga tidak bisa dimiliki semua orang karena hanya ada seorang yang memiliki senyum itu, senyum yang khas.

Yang sedang menikmati sate ayam sambil tersenyum,
-Z33-
31.03.15 – 11.43pm

-Z33-
Posted from WordPress for Android

Kasih di Atas Meja — stelma 4.11

05.08.14 – Malam hari. RS. Stella Maris

Tidak banyak yang dilakukan. Dipakai untuk menulis. Berpikir topik apa. Hmm, Kasih di Atas Meja. Judul dan isinya sudah ada disini nih *nunjuknunjukjidat* sejak jaman Adam Hawa tapi belum pernah menuliskannya.

Saya senang melihat meja kerja saya rapi. Agak kesal jika ada orang yang menitipkan barang atau menaruh barang di atas meja kerja saya tanpa ada info apa-apa apalagi kalau meninggalkannya begitu saja dengan tidak rapi.
Menemukan sesuatu untuk saya di atas meja itu salah satu hal menyenangkan. Biasanya sih, makanan, hahaha. Kadang, di awal hari, sudah ada yang menaruhnya di atas meja. Atau di sela-sela kerja, saat meninggalkan meja kerja kemudian saat kembali, tiba-tiba ada sesuatu di atas meja. Itu wow banget, umm, semacam sulap!
Sebaliknya, menaruh sesuatu di atas meja kerja teman itu menyenangkannya bisa melebihi saat mendapati sesuatu di atas meja kerja sendiri. Ketika berulangkali diberi dan sebaliknya, saya menamainya Kasih di Atas Meja.

Yang saat menulis “Kasih di Atas Meja” teringat akan “tabur tuai” dan hanya sahabatnya yang tau maksudnya.
– Z33 –

– Lebih berbahagia memberi daripada menerima –
Kis 20:35

Kasih di Atas MejaIMG_20140305_145811

20 cm

“20 CM”

 

Mempunyai rambut yang panjang itu kebanggaan kebanyakan perempuan apalagi kalau rambutnya lebat dan sehat. Berambut panjang itu terlihat feminin, bisa dimodel apa saja. Kebanyakan laki-laki yang saya temui mengatakan mereka lebih menyukai perempuan berambut panjang.

Kadang ada rasa bosan juga berambut panjang, kadang gerah, kadang ribet, kalau mandi jadi lama. Kalau lagi jelek banget rambutnya, cara paling ampuh adalah diikat, digulung atau pakai topi. Berambut pendek lebih ringkas, ngga gerah, ngga ribet, mandi juga jadi lebih cepat – walaupun menurut orang rumah mandi saya tetap lama. Berartiii, saat berambut panjaaang… … – Hanya, ngga bisa dimodel-model dan kalau panjangnya udah sebahu, ribetnya baru terasa karena jadi kaya “bebek”. Bisa sih terlihat panjang, tapi pakai hair-extension *ribet pulak*

Kejadian lucu terjadi di salon. Mungkin selama 2 tahun, setiap datang ke salon bawaannya pengen banget potong pendek, hanya pikiran saya dengan pertimbangan-pertimbangan yang dibawanya menetralkan perasaan itu. Saya datang ke salon tujuannya untuk hair smoothing, tapi dalam hati juga pengen banget potong pendek, bob gitu. Saya memang tidak gaya dengan model rambut, konvensional. Makanya “Potong pendek aja, bosen aku lihat kamu rambut panjang terus”, gitu kata cece pemilik salon langganan saya. Saya cukup sering ke salon untuk potong rambut, biasanya hanya memotong 3 cm, modelnya pun model yang sama. Walaupun sering memotong rambut, kalau banyak yang ngga notice itu wajar karena cuma hilang 3cm. Pertimbangan terberat saya untuk mempertahankan berambut panjang adalah papi saya yang sangat tidak suka saya berambut pendek dan karena saya menari. Kalau menari terus rambutnya pendek kan susah kalau mau dimodel-model. Walaupun kali ini pertimbangan saya 50-50, “Tetap panjang aja, Ce” jawabku yakin disusul si cece bersiap memotong model panjang. Baru beberapa guntingan,

Saya: “Ce, pendek saja”

Cece: “Yakin?”

Saya: “Yakin”

Cece: “Tit?”

Saya: “Tit”

Cece: “Pasti ya?”

Saya: “Pasti”

Si cece langsung mengambil beberapa bagian dan menggunting… “kreekkk”.. kemudian terdengar teriakan pengunjung salon yang duduk di sebelah saya “Oh my Goood!”. Kami menoleh ke arahnya. Dia melihat kami dan tidak percaya apa yang sedang kami lakukan. Saya tersenyum saja. Ketika si cece menggunting lagi, perempuan itu berteriak lagi, “Oooh my Gooood”. Sayang katanya. Yang rambutnya digunting kan saya, yang heboh malah dia. Kami pun tidak bisa menahan tawa. Saat itu, rambut di bagian belakang kepala dicukur juga, supaya hasil bobnya bagus.

Reaksi yang muncul dari orang-orang di sekitar saya pun beragam, kebanyakan dari mereka seperti Thomas murid Yesus, hahaha… tidak percaya dengan apa yang dilihatnya sampai harus menyuruh saya menoleh ke belakang atau mengangkat rambut saya.

Kalau teman-teman perempuan sih responnya selalu positif. Yang bikin gemes itu waktu ketemu dengan adik saya

Adek     : “Potong rambut ta?”

Saya       : “Iya” *senyum*

Adek     : “Pendek?”

Saya       : “Iya” *senyum*

Adek     : “Itu ngga dimasukin, disembunyiin di dalam?”

Saya       : “Ngga” *senyum di wajah hilang*

Adek     : “Coba lihat…”

Saya noleh ke belakang memperlihatkan *wajah jadi datar*

Adek     : “Ngga sayang ta?”

Saya       : “Ya sayang sih, tapi ya udahlah”

Adek     : “Kan sayang, uda panjang gitu”

Ziingggg…. hening sejenak

 

Saya       : “Cocok ngga?” *mencairkan suasana*

Adek     : “Ya cocok-cocok aja sih” *berdiri*

Saya       : “Cocok ngga ama aku?” *ngga percaya ama jawabannya*

Adek     : “Kalau potong pendek itu keliatan lebih dewasa, jadi keliatan lebih tua” *ditinggal ke meja makan* Haisssh…

 

Respon papi dan om juga sama, tiap ketemu bilangnya “jelek rambutnya” lah, “kaya YUNI sengSARA” lah bla bla bla. Pertama-tama males dengernya, apalagi papi, pasti ada acara ceramahnya bentar. Tapi lama-lama juga biarin aja dah… Rambut-rambut guwehhh, nape pria-pria itu yang ribet.
Cuma ada 1 teman laki-laki yang responnya cetar,”Kamu rambutnya gini, jadi kelihatan lebih feminin”

 

Opini:

  1. Rambut itu salah satu bagian fisik yang dibanggakan perempuan.
  2. Kita bisa sedikit tau (sedikit lho ya) pribadi seorang perempuan dari gaya rambutnya.
  3. Waktu rambut lagi jelek, biasanya perempuan akan mengikat, menggulung atau menutupi rambutnya dengan topi.
  4. Poni digunakan untuk menutupi kekurangan pada wajah: dahi yang lebar atau wajah yang panjang.
  5. Rambut panjang membuat pemiliknya terlihat feminin.
  6. Kebanyakan laki-laki menyukai perempuan berambut panjang.
  7. Ukuran dan tekstur rambut seseorang ngga mempengaruhi pribadinya. Ada yang bilang kalau helaian rambutnya kecil dan halus, pasti orangnya juga gitu. Atau kalau helai rambutnya gede-gede dan kasar, kaku nih orangnya. Yang saya temui malah kebalikannya.
  8. Jangan berharap apalagi ngambek kalau tidak ada orang yang komentar tentang rambut yang baru disalonin kalau yang dipotong itu hanya beberapa cm dari puluhan cm yang dipunya.
  9. Jangan bertanya kalau ngga siap dengan kemungkinan jawaban yang akan diberikan.
  10. Perempuan biasanya akan bertanya hal yang sama demi mendengar jawaban yang sama yang ingin didengarnya.
  11. Rambut mengalami pertumbuhan, jadi ngga perlu menyesali berlebihan apalagi nangis saat potongannya ngga sesuai dengan yang diharapkan.
  12. Ngga perlu posting di sosmed “I miss my long hair T_T” padahal yang dipotong cuma 5cm.
  13. Kalau sumpek banget sama rambut yang udah terlanjur pendek, ke salon aja cyiiin minta di hair-extension. Atau beli aja hair extension, 90ribu uda dapet gan, bisa diwash-catok-curly juga.

 

Yang sudah setahun ini berambut pendek, 11 tahun sebelumnya panjang terus. Dari 60cm ke 20cm.

-Z33-

23 Jun 2014. @ Selasar ged. P, kampus tercinta.

Edited @ my bestie’s home 11.20 pm

interARTsTHINK!

Yang 3 hari lalu menulis 1 paragraf tentang “menarik perhatian”, kemudian sekarang tergoda untuk posting beberapa yang menarik perhatiannya ke dalam bentuk gambar,

-Z33-

Oct 15, 2013. 02:40pm

Nail Art: “Smile Nail”

Image

Selain membuatnya di kuku sendiri, sering juga di kuku orang lain.

Senang membuat mereka senang melihat kukunya yang cantik.

Photography: “Bluetterfly”

Image

Mengabadikan yang menarik perhatian.

Concepting: “CM – Creative Ministry”

Image

Mewujudkan pikiran dalam bentuk apa saja yang diinginkan.

Menggambar: “Potret”

Image

Bermain dengan bentuk, warna dan perasaan.

Memasak: “Baby Potato Berbagi”

Image

Mencoba memasak… Sekali lagi, mencoba. Senang melihat makanan yang tersaji indah.

Teman Hidup 1: “Sekar”

Image

Image

Keindahan yang lembut dan mempesona.

Teman Hidup 2: “Fishes and a Bowl”

Image

Ikan. Warna yang indah. Bergerak kesana kemari dengan indah pula.

Teman Hidup 2: “Dogather Forever”

Image

Dia berlari, melompat, menggigit, mengejar, menunggumu pulang, membuat tertawa-kesal-senang-sedih.
Sahabat manusia.